Ucapan kawan saya soal “mempertanyakan netralitas” media sempat membuat terhenyak. Plus, bacaan soal indikasi keberpihakan media kepada Calon Presiden (Capres) tertentu, pun membuat saya tercenung.
Kembali terngiang di ingatan ucapan salah satu orang yang paling saya hormati, yakni mantan Pemred kami di Harjak dulu. Dia bilang, “Setialah kalian sama profesi. Gak perlu setia sama medianya, karena dalam karier kalian, pasti akan mengalami ganti-ganti media. Namun, profesi kalian akan tetap sama: pewarta. Maka, jangan cengeng dan jangan melacur.” Nasihat itu singkat, padat dan selamanya terpatri dalam hati.
Mari sedikit kita bahas soal kalimat itu.
Sebagai insan media, pindah dari media satu ke media lain adalah suatu hal yang biasa terjadi. Penyebabnya pun bervariasi. Pada umumnya, pertama, perbedaan besaran penghasilan. Media B lebih bagus daripada media A, jadi ya pindah lah. Ini wajar dan manusiawi. Toh semua orang bekerja karena butuh mengasapi dapurnya. Alasan seperti ini sama sekali tidak hina kok.
Kedua, untuk meningkatkan karier. Ngga bisa dimungkiri bahwa media juga punya level berbeda-beda dalam kelasnya masing-masing. Semisal KOMPAS, salah media cetak nasional yang paling top. Juga TEMPO, GATRA, FORBES (Indonesia). Untuk radio, El Shinta dan 68H mungkin contoh media radio yang top. Untuk televisi news: Metro TV, SCTV, RCTI, TV 7 (sekarang jadi Trans7) sudah bisa dibilang top semua. Kalau ada satu wartawan pindah dari koran ke radio, itu sudah keren. Apalagi jika dia pindah ke televisi. Wah! Top! Pun kalau ada wartawan pindah dari satu koran ke koran lain, dilihat bagaimana level koran tersebut, atau pindah dari koran lokal ke koran nasional, good! Berarti si wartawan punya kemampuan kerja yang baik dan integritas yang bagus. Karena mustahil media massa besar mau meng-hire orang yang integritasnya ngga bagus.
Intinya, loncat-loncat dari satu media ke media lain, itu sudah biasa. Jadi kalau para kuli tinta ini saling bertemu saat liputan, hal pertama yang dilakukan adalah menegur, “Eh, elu lagi. Di media mana sekarang?” Sambil mengamati name tag yang (biasanya) menggelantung di leher .
Dan, inilah yang dimaksud oleh Pemred saya di atas, “Kalian akan mengalami pindah-pindah media… Maka, jangan cengeng, jangan melacur.” Kalimat itu, buat saya, digunakan menjadi prinsip hidup. Tak sekadar prinsip yang harus dipegang sebagai penunjang karier seorang pewarta dalam dunia media.
“Jangan cengeng”, berarti dilarang mudah menyerah. Jalani tantangan dengan berani. Gunakan otak dan kreativitas untuk mengatasinya. Allah telah memberikan akal dan pikiran sebagai alat bertahan hidup, sayang dong kalau otak ngga digunakan. Seseorang mungkin tidak sepintar itu, tapi ia mesti cerdas dalam menjalani hidup dan karier-nya. Jujur, untuk saya pribadi, masih dalam tahap belajar untuk tidak cengeng. 🙂
“Jangan melacur”, berarti dilarang menggadaikan harga diri, integritas dan martabat hanya demi segepok uang–yang pastinya tak seberapa jika dibandingkan dengan nama baik kita. Saya kenal cukup banyak kawan sesama pewarta yang hidup susah, tapi mereka mampu setia pada profesinya. Tidak melacur. Tidak membuat berita pesanan, dan tidak menjadi “Tim Sukses” (Timses) pejabat selagi mereka menjadi wartawan perusahaan media. Kalau seorang pewarta keluar dari medianya untuk menjadi Timses, itu lain soal. At least, dia keluar dari medianya guna menjaga kemurnian keberimbangan media, dan kemurnian integritas dia. Dan orang seperti itu, saya menghormatinya. Menghormati pilihan bijaknya.
Namun ada juga kawan pewarta yang kadang “melacur”. Menulis berita dan ditarif. Memuji-muji satu pejabat dalam tulisan karena memang dibayar untuk menulis begitu. Ketika ditanya pendapat pribadinya tentang pejabat yang ia tulis, ia mencibir. Lebih parah, pewarta yang menulis kontradiksi dari fakta yang ia dapatkan, karena uang dari sang narasumber sudah masuk kantongnya.
Harap dipahami, KawaNina, seorang pewarta pasti memiliki kelihaian bermain kata-kata sepeti pengacara. 🙂 Seperti halnya kuasa hukum (pengacara) pembela terdakwa, seorang pewarta mampu melihat satu kasus dari berbagai segi. Ia bisa mengeksploitasi satu topik tulisan menjadi positif maupun negatif, tergantung kehebatannya mengolah kalimat. Nah jika skill tersebut malah digunakan kontradiksi dari fakta yang ada, aihhh.. Apa-apaan pewarta macam begini? Itu informasi yang menyesatkan namanya.
Saya masih bisa paham dan respek kepada pewarta yang tetap menulis berita apa adanya, tanpa opini, meski ia tidak suka dengan narasumbernya. Yang penting baginya adalah menulis fakta dan tidak dipengaruhi opini pribadi terkait like dan dislike. Ini baru profesional.
Ada satu nasihat lagi yang saya masih ingat betul, diucapkan oleh redaktur saya almarhum Heru Suprantio, Bang Bek Ch Makmun, dan juga almarhum Barry Sihotang (Redpel kami dulu). Ketiganya sering mengingatkan, “Jangan jadi wartawan kalau mau kaya. Wartawan ngga akan pernah kaya harta. Namun seorang wartawan/jurnalis, sudah pasti kaya raya dalam hal pengetahuan, jiwa dan silaturahmi.”
Jadi jelas bahwa insan media (seharusnya) menyadari bahwa bekerja di media adalah bekerja di bisnis kepercayaan. Integritas (nama baik) dan martabat adalah taruhannya. Dan biasanya bisnis kepercayaan ini TIDAK berbanding lurus dengan profit. Malahan risikonya tinggi: sebelah kaki di penjara dan sebelah kaki lagi di kuburan–karena masuk rumah sakit saja masih dibilang cukup beruntung.
Lha, sekarang menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 ini, “trennya” media massa kok malah mengusung misi propaganda dan mem-blow up rumor, dan lupa dengan fungsinya mencerdaskan bangsa. Malahan ada media yang jelas-jelas mengakui keberpihakannya terhadap salah satu kubu Capres. Seperti yang diungkapkan The Jakarta Post, dengan beraninya, beberapa hari lalu. Well, saya salut dengan ke-gentle-an si media mengakui hal tersebut, dibandingkan media lain yang diam-diam tak ber-statement, tapi terkesan jelas pro salah satu Capres. Namun, tetap saja, membacanya membuat saya tidak mampu merasa ikut bangga dengan sikap jujur yang seperti itu.
Pertanyaan di otak saya, yang mungkin tidak cerdas ini, cuma dua kalimat, “What the hell is wrong with these people? What’s with all this madness?”
Ada apa dengan orang-orang (Indonesia) ini? Ada apa dengan semua kegilaan ini? Apa bukan kegilaan ini namanya? Apa bukan melacur ini namanya?
Kalau boleh saya mengutip Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, atau populer disebut sebagai UU Pers, yang konon jadi pedoman media massa itu, berikut ini.
Pasal 3: ayat (1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Pasal 5: ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Pasal 6 – Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut: butir a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Pasal 7: ayat (2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Nah, bicara kode etik jurnalistik, saya akan mengutip peraturan Dewan Pers. Oh ya, soal Dewan Pers, sesuai UU Pers, Dewan Pers mempunyai fungsi, antara lain, sebagai berikut.
Pasal 15: ayat (1) Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. Pasal 15: ayat (2) butir (b) Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
Berikut adalah kode etik jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers, selengkapnya bisa di baca di sini: http://www.dewanpers.or.id/page/kebijakan/peraturan/?id=513
Pasal 1 – Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran:
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-matai untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 3 – Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran:
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Lha, sekarang fenomenanya insan pers sudah bersikap jauh dari kode etik jurnalistik begini, mau jadi apa negeri ini? Padahal media adalah ujung tombak nama baik negeri. Media adalah agen promosi negeri. Kalau media mau berpihak, berpihaklah kepada rakyat. Karena yang membuat kalian besar adalah rakyat di negeri ini. Jangan jadi pelacur, demi integritas dan harum nama bangsamu.
Referensi lebih lanjut, silakan baca artikel menarik berikut:
– Sanksi untuk Media yang Tak Netral dalam Pemberitaan Capres
Leave a Reply