Kisah Dunia Pemberdayaan: Sempat Disandera Warga

Seminggu kemarin saya terus berbuka puasa di kantor, setiap hari, bersama sejumlah kawan sekantor. Kami berbuka di ruang rapat. Satu meja besar dijejali makanan dan minuman untuk berbuka: teh manis hangat, ta’jil, lontong berisi potongan wortel dan kentang, bakwan goreng, perkedel jagung, dan bumbu kacangnya. Berada satu meja dan berbuka bersama-sama membuat sejumlah kawan jadi bercerita nostalgia semasa mereka mendampingi masyarakat di lapangan. Di Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sumatera, Bali.. Cerita-cerita mereka sangat menarik dan inspiratif. Saya coba menyampaikan cerita mereka di beberapa entry tulisan. Semoga KawaNina juga terinspirasi. 🙂

wpid-img_20140701_175830.jpg
Sunaryanto (kiri, berkemeja biru) berbuka puasa bersama Tim KMP PNPM Mandiri Perkotaan wilayah 2, pada Selasa (1/7/2014)

Berikut adalah penuturan cerita dari Pak Sunaryanto, mantan Team Leader (TL) kami di Konsultan Manajemen Pusat (KMP) PNPM Mandiri Perkotaan wilayah 2. Pak Sunar–begitu kami memanggilnya–adalah senior di dunia pemberdayaan. Ada beberapa cerita pengalaman yang ia sampaikan kepada saya, tapi yang paling menarik adalah pengalaman saat ia “disandera” warga. Wah, kok bisa?

“Iya, itu terjadi saat P2KP baru berjalan. P2KP 1, tahun 1998. Gara-gara kawan saya itu,” ujar Sunaryanto dengan wajah terus dihiasi senyum khasnya. P2KP adalah singkatan dari Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan, atau Urban Poverty Project. Nama “Proyek” ini kemudian berganti menjadi “Program”. Waktu itu penanggulangan kemiskinan dengan cara pemberdayaan benar-benar konsep baru yang digulirkan pemerintah. Dalam hal ini, P2KP berjalan di bawah pengawasan Kementerian Pekerjaan Umum.

Lalu Sunaryanto melanjutkan ceritanya. Semua berawal dari janji yang diucapkan oleh rekan sejawatnya. Janji kepada masyarakat di salah satu wilayah di Madura–maaf, saya lupa nama persis daerahnya, hehe.. Tahun 1998 adalah masa di mana kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berada di titik nadir. Titik terendah. Jadi ketika program pemerintah digulirkan seperti ini, sungguh reaksi masyarakat sangat pesimis.

“Lha kawan saya itu rupanya berjanji kepada masyarakat, akan segera mencairkan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) P2KP. Suatu hari, dia mengundang saya dan beberapa rekan untuk pertemuan dengan warga. Ya kami datang. Tanpa merasa curiga. Setelah kami datang, eh kawan saya menghilang. Jadilah masyarakat menagih BLM itu ke kami. Saya ya sempat bingung juga mau menjawab apa, karena BLM sebenarnya memang belum akan cair saat itu,” ujar Sunar, yang waktu itu bertugas sebagai Regional Manager (RM) untuk wilayah Jawa Timur.

Suasana cukup mencekam, mengingat karakter orang Madura yang tidak basa-basi. Masyarakat sempat merasa panas dan merasa dibodohi oleh “pemerintah”, alhasil, mereka menyandera Sunaryanto dan kawan-kawannya (ada 6 orang, kalau tidak salah). “Bagaimana nggak ngeri, Mbak, saya disodori clurit. Saya dibilang bohong. Saya pikir, waduh.. mati saya nih,” tutur Sunar. Ia tertawa kecil, mungkin menetralisir perasaan tidak enak gegara mengenang kembali salah satu kenangan buruk.

Mendengar penuturan itu saya melongo. “Sampai kepikir begitu, Pak?” ulang saya.

“Ya iya, Mbak. Gimana nggak kepikir mati, lha wong clurit-nya sudah dikalungkan ke leher saya,” lanjut dia.

Ucapan tersebut “diperbuas” oleh Tenaga Ahli (TA) Manajemen Keuangan Achmad Fauzi, yang kebetulan asli Madura. “Wah kalau sudah clurit dikalungkan begitu, ya ngeri, Mbak,” katanya, sambil mengingatkan bahwa orang Madura sangat mahir menggunakan cluritnya, baik untuk bekerja maupun bela diri.

“Tapi setelah berbicara dan memberi pengertian kepada masyarakat, kami dilepas sekitar jam 1 pagi,” lanjutnya. Alhamdulillah.

Flashback, saya akan cerita sedikit latar belakang kenapa reaksi masyarakat begitu sinis-pesimis kepada pemerintah adalah karena kejadian Mei 1998. Kawan-kawan seangkatan saya pasti paham sekali apa yang terjadi saat itu. Jakarta membara: demo mahasiswa menuntut Soeharto lengser, bentrok mahasiswa dengan aparat kepolisian, chaos sampai ke warga sekitar, terjadi penjarahan di beberapa tempat, TNI AD turun tangan untuk pengamanan Jakarta, Marinir juga menyusul turun setelah hari ke-3 atau 4, lalu mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR selama beberapa hari. Sampai akhirnya Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden RI, digantikan wakilnya, B.J. Habibie, dan saat itu Indonesia memasuki Era Reformasi.

Memasuki era ini buntutnya panjang: ekonomi morat-marit akibat bentrok di ibu kota Jakarta. Harga-harga melambung tinggi sampai 5-6 kali lipat. Nilai tukar mata uang asing yang tadinya 1 Dolar AS adalah Rp3.000-an, meningkat tajam sampai 1 Dolar AS = Rp12.000. Lalu pemerintah menyatakan Indonesia mengalami Krisis Moneter (Krismon). Banyak bank nyaris kolaps, bahkan tak sedikit yang gulung tikar dan dibekukan. Istilah-istilah “likuidasi”, “Krismon”, Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) jadi akrab di telinga. Mayoritas masyarakat di berbagai daerah waktu itu berubah jadi brutal akibat kemarahan terpendam mereka. Bakar-bakaran cenderung jadi pemandangan “biasa”. Banyak kejadian di mana sikap masyarakat benar-benar kelewatan, yakni mem-bully maling yang tertangkap–menggebuki, bahkan membakar si maling.

Waktu itu saya masih seorang mahasiswi tahun ke-3 (semester 6 menjelang semester 7). Sedang bersiap untuk Kuliah Kerja Nyata alias KKN (juga)–singkatan yang akhirnya jadi konotatif terdengar di telinga. Saya memang kuliah di Bandung, tapi Papa saya ada di Jakarta. Makanya saya selalu pasang telinga soal keadaan kota kelahiran saya itu. Di sisi lain, bisa dibilang Bandung adalah salah satu lokasi terdekat dari Jakarta yang tidak ikut-ikutan chaos, makanya Papa sepertinya menilai saya aman. Dan, beliau benar. 🙂

Kembali ke cerita drama sandera tadi, Sunaryanto mengakui waktu itu keadaan memang kritis akibat skeptisnya masyarakat terhadap pemerintah. Hal ini membuat pekerjaan mereka begitu berat dan menantang. Semakin berat karena saat itu konsep pemberdayaan masih betul-betul mentah karena tidak ada pengalaman dalam menjalani program semacam itu.

“Waktu itu betul-betul kami merintis konsep pemberdayaan. Mayoritas dari kami ini bukan konsultan, melainkan aktivis LSM dan berpengalaman di organisasi. Ibaratnya kami terus berjalan saja, sambil belajar. Kalau ada tembok di depan, ya tabrak. Ya jelas jadi babak belur, tapi dari situ kita belajar, ‘Oh kalau begini caranya keliru.’ Baru deh berikutnya kami bisa mengambil pelajaran,” kata Sunar.

Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa dana BLM, khususnya untuk dana ekonomi bergulir yang macet (tidak kembali) di program P2KP 1, “diputihkan”. Sebagai cost of learning. Setelah merambah lapangan, mempraktikkan teori sambil belajar, lengkap dengan trial and error-nya,barulah Sunaryanto dan tim bisa merumuskan konsep pemberdayaan. Itulah yang kemudian menjadi Pedoman Umum (Pedum) P2KP. Seiring waktu berjalan, para pemberdaya ini semakin banyak menemukan pengalaman baru di lapangan. Makanya hampir setiap tahun Pedum P2KP terus mengalami perubahan, sebagai upaya penyempurnaan konsep.

Namun, pelaksanaan program bukannya tidak menemui kendala, kata Sunaryanto. Selain adanya resistensi dari Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat sendiri, program sempat terjerembab. Dihentikan. Mungkin karena dinilai tidak ada perkembangan positifnya. “Saat itu kami ngotot agar program dilanjutkan. Ini program bagus kok untuk masa depan bangsa. Hanya saja, pemberdayaan itu kan jalannya dengan pembelajaran. Indikatornya bisa dibilang tidak jelas, tidak hitam di atas putih seperti administrasi. Ya namanya capacity building, peningkatan kapasitas manusia. Apalagi kita di sini kan bicara perubahan paradigma. Perubahan cara berpikir, mindset. Tidak mudah mengubah itu. Bisa dibilang mengubah budaya. Tapi kita sudah perkirakan, perubahan baru terlihat setelah 10 tahun. Makanya pemerintah harus sabar. Ini investasi sosial,” tegas dia.

Hasilnya? Pada tahun 2004 P2KP berjalan kembali. Bahkan di tahun 2007, pemerintah pusat memutuskan untuk mengadopsi P2KP dan mentransformasinya secara resmi menjadi level nasional: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan. Pun “kakak” P2KP yang bernama Program Pengembangan Kecamatan (PPK) under Kementerian Dalam Negeri, diadopsi menjadi PNPM Mandiri Perdesaan.

Saya pribadi baru bergabung di P2KP pada tahun 2005. Pas P2KP 2-2. Jadi, yah, cukup juga merasakan perubahannya.. dari P2KP menjadi PNPM Mandiri Perkotaan, yang sempat membelah P2KP menjadi dua: P2KP Advanced dan PNPM Mandiri Perkotaan (Reguler). Tim Website waktu itu ditarik ke PNPM Perkotaan Reguler, karena sejatinya Website adalah milik Proyek–maksudnya Satker Penanggulangan Kemiskinan Pusat (Kementerian PU); bukan milik KMP.

Kembali ke cerita Pak Sunaryanto. Menurut dia, seharusnya pemberdayaan itu lebih ke soal pengembangan kapasitas (sosial) dibandingkan infrastruktur dan ekonomi bergulir. Tridaya (sosial, ekonomi dan infra) itu hanya alat saja. Target sebenarnya adalah perubahan cara berpikir manusianya, sekaligus membuka akses yang sebelumnya asing bagi masyarakat. Yakni, akses pembangunan.

“Selama ini kan masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pembangunan. Setelah kita masuk, kita ajari, begini lho caranya. Bikin perencanaan dulu, begini caranya. Setelah itu ajukan perencanaannya ke mana. Kolaborasi dengan pemerintah setempat. Jadi nantinya masyarakat tidak hanya sekadar memiliki Perencanaan Jangka Menengah (PJM) Program Penanggulangan Kemiskinan (Pronangkis), melainkan masyarakat memiliki perencanaan komunitas untuk satu periode, misalnya 5 tahunan. Itu cita-citanya kita terhadap masyarakat,” ujar Sunaryanto.

Pendekatan yang dilakukan, lanjut Sunar, sejatinya adalah membuat masyarakat paham dulu. Setelah paham, maka masyarakat menjadi mengerti. Setelah itu barulah mendukung dengan mempraktikkannya sendiri. Dengan begitu pemberdayaan jadi lengkap dan masyarakat tidak bergantung lagi pada pendampingan fasilitator. Jika masyarakat sudah mampu mandiri, diharapkan mereka akan “menulari” lokasi lainnya. Dan, Tim Fasilitator pun tidak terpaku di satu tempat, melainkan ikut bergeser mendampingi lokasi lain yang belum berdaya.

Nah, begitulah sedikit cerita pengalaman Pak Sunaryanto kepada saya. Kami berbincang lebih dari satu jam. Pembicaraan spontan tanpa dicatat ataupun direkam. Saya menuliskan ini berdasar ingatan saja, jadi mohon maklum jika tidak sempurna. 🙂 Lebih lanjut, Pak Sunar menyatakan keinginannya untuk menulis dan membukukan nilai dan filosofi yang ia dapatkan selama berada di dunia pemberdayaan ini. Bukan sekadar cerita pengalaman, tapi juga berbagi pemikiran. Soalnya, buku tentang pemberdayaan itu belum banyak beredar. Mengingat tahun 2015 kegiatan kita “berakhir”, setidaknya 1, 2, 3 buku dapat menjadi saksi/testimoni kegiatan pendampingan masyarakat yang telah dilakukan oleh para pemberdaya selama 15 tahun terakhir ini.

“Jangan sampai pekerjaan kita tak terekam, hilang tak berbekas begitu saja. Memang sih kita membuat laporan. Tapi laporan itu untuk siapa sih? Untuk yang berkepentingan kan? Pemerintah, donatur. Sedangkan filosofi yang kita dapatkan selama menggeluti dunia pemberdayaan ini, sayang sekali kalau tidak di-sharing kepada masyarakat,” tandas Sunaryanto.

Tanggapan saya, sebelum berpamitan meninggalkan ruang rapat malam itu adalah, “Saya dukung, Pak. Saya akan bantu semampu saya. Kalau Bapak akan membuat tulisan, saya akan bantu mengeditnya.”

Ditunggu tulisan-tulisannya ya, Pak Sunar! 🙂


2 responses to “Kisah Dunia Pemberdayaan: Sempat Disandera Warga”

  1. Hari Prasetyoa Avatar

    Seingat saya, kabupaten di madura mulai masuk P2KP tahun 2004, dimulai dari kab. Pamekasan dan Sumenep (kebetulan saya yg menjadi Team Leader KMW 16 yg membawahi ke-2 kabupaten tsb, disamping kab/kota lainnya yg berada di jawa). Jadi sebelum tahun 2004 tidak ada program P2KP di Madura. Kaluk ada kejadian seperti itu, sampai mengeluarkan celurit mungkin ditempat lain, bukan di Madura. Dengan strategi yg digunakan, tahun 2004 dst program berjalan baik di madura, meskipun diakui masih ada kelemahan2.

    1. Nina Firstavina Avatar

      Waktu itu katanya Pilot, Pak. Mungkin namanya belum P2KP ya. Atau mungkin lokasinya bukan Madura, tapi banyak org Maduranya. Hehehe.. Nanti coba saya tanyakan lagi ke Pak Sunar, ya. ^_^
      Suwun koreksi dan pengingatnya. 😉

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: