Bersyukur. Begitu reaksi saya saat tadi pagi membuka Blackberry Messenger (BBM). Pasalnya, di BBM tersebut ada tautan satu berita dari yayang saya. Ini tautannya:
Alhamdulillah. Akhirnya! Ya. Akhirnya, ada juga pihak pers yang berani menyatakan diri telah keliru–walau mungkin bukan mereka sendiri yang melakukannya. Namun, karena terdorong kebersamaan, mereka duluan meminta maaf–mewakili kawan-kawan media lain yang sudah menyadarinya.
Begitulah, rasa persaudaraan dalam dunia media itu (setidaknya dahulu, hehe..), mirip dengan rasa persaudaraan dalam dunia militer, sangat tinggi. (Nyaris) tak pernah ada perbuatan saling menghina antara satu media dengan media lain. Padahal sama-sama mencoba “menjual” oplah atau rating. Jikapun ada persaingan menjaring fans, mereka tidak melakukannya dengan cara menjatuhkan media lain.
Seperti saya bilang dalam postingan sebelumnya (baca: Hei Media, Jangan Kau Melacur!): Jadi jelas bahwa insan media (seharusnya) menyadari bahwa bekerja di media adalah bekerja di bisnis kepercayaan. Integritas (nama baik) dan martabat adalah taruhannya. Dan biasanya bisnis kepercayaan ini TIDAK berbanding lurus dengan profit.
Nah, para pelaku media ini paham betul, cara “menjatuhkan” itu tidak akan menuai simpati pembaca, makanya mereka menghindari ini. Mereka membiarkan semua penilaian ada di tangan pembaca. Semakin faktual, semakin aktual, semakin reliable dan terpercaya beritanya, akan semakin banyak pula pembacanya. Begitulah.
Sayang, di tahun 2014 ini, banyak yang menilai (termasuk saya) bahwa media massa semakin melenceng dari pakemnya. Bukannya jadi media pencerdas bangsa, malah jadi pengecoh bangsa, dengan menerbitkan berita-berita tidak berimbang. Padahal mereka tahu yang sebenarnya. Namun, entah karena pesanan atau karena mengidolakan salah satu Capres, mereka hanya mem-blow up positifnya sang Capres idola dan menutup rapat-rapat negatifnya. Okelah, sebenarnya hal seperti itu boleh dilakukan, DALAM BATAS TERTENTU. Karena jika terus-terusan memberitakan hal positif satu Capres (idolanya) saja tanpa memberitakan hal positif dari Capres lain (non-idolanya), atau malah sengaja memberitakan hal negatif dari Capres lain (non-idolanya), itu namanya penyesatan publik! Ini yang harus dikoreksi. Harus dikembalikan ke tupoksi utamanya: mencerdaskan bangsa.
Syukurlah Pers Yogyakarta sudah mengawalinya!
Anda tahu, kenapa saya bersyukur Pers Yogyakarta mengawalinya? Karena Kota dan Provinsi Yogyakarta adalah salah satu wilayah yang paling disegani dan dihormati oleh pers lain se-Indonesia. Wilayah lainnya yang dipercaya sebagai “suara lantang” dan dihormati se-Indonesia adalah Jakarta (tentu saja), Surabaya, Semarang, Denpasar, Makassar, Kendari, Pontianak, Samarinda, Lampung, Banda Aceh, Maluku, dan Pekanbaru. Correct me if I’m wrong.
Maaf, bukan berarti wilayah lain tidak dihormati–tentu saja semua pers di Indonesia sama-sama dihormati, tapi mesti diakui bahwa wilayah di atas itu paling strategis dan bisa menimbulkan efek paling besar terhadap “opini bangsa”. By the way, tempo hari saya membaca koran Papua Pos, dan tahukah kawan, bahasa jurnalistik mereka sudah baik sekali. Prediksi saya, pers Papua juga akan segera jadi salah satu pers wilayah yang paling disegani.
Kembali ke soal Deklarasi Malioboro, saya positive thinking bahwa ini bisa jadi adalah titik balik kebangkitan Pers Indonesia. Untuk itu saya sih berharap pernyataan “back to neutral” akan segera dideklarasikan pula oleh semua pers se-Indonesia! Aamiin..
Semangat, kawan-kawan! Jangan ikuti jejak media asing, karena benar-benar mereka bukan tolok ukur terbaik di dunia. Saya malah meng-encourage, kawan-kawan Pers Indonesia-lah yang kelak bisa menjadi contoh terbaik dan tolok ukur pers se-dunia! Kita bisa!!
Lebih lanjut ini dia berita yang saya dapatkan soal Deklarasi Malioboro, Yogyakarta, 7 Juli 2014:
Berikut berita-beritanya, saya kutip langsung dari website mereka masing-masing.
Ini dari Tribunnews.com:
Deklarasi Malioboro, Insan Pers Minta Maaf ke Rakyat karena Ikut Terpolarisasi Pilpres
Pembacaan Deklarasi Malioboro oleh wartawan yang bertugas di Yogyakarta diwakili oleh Ketua PWI Yogyakarta, Sihono, Gedung DPRD, Yogyakarta, Senin (7/7/2014). Pembacaan disaksikan oleh Wagub DIY, Sri Paduka Paku Alam IX dan Ketua DPRD Yoeke Indra.
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA – Sekitar 20 wartawan mewakili para pekerja pers yang bekerja di Jogyakarta meminta maaf kepada rakyat Indonesia karena telah tidak memberikan pendidikan politik cerdas serta demokrasi yang baik kepada rakyat Indonesia terkait erat dengan kampanye pilihan presiden (pilpres) 2014.
Pernyataan maaf itu tertuang dalam “Deklarasi Malioboro” yang diserahkan kepada Wagub DIY, Sri Paduka Paku Alam IX di Gedung DPRD DIY, Senin (7/7/2014).
Deklarasi Malioboro adalah pernyataan hasil kesepakatan para pekerja media yang ingin mengembalikan kerja profesi wartawan ke khitahnya mengingat Pilpres 2014 membuat persatuan, integritas dan kerja profesional sebagai wartawan menjadi terbelah.
Mereka mengakui, kampanye Pilpres 2014 merupakan pelajaran terbaik bagi kerja insan pers yang sangat mempengaruhi masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Sebelum diserahkan kepada Paku Alam IX, Deklarasi Malioboro dibacakan oleh Ketua PWI Jogyakarta, Sihono dan disaksikan oleh para wartawan yang antara lain termasuk, Kusno Utomo (Radar Jogya), Taufiq (Tribun Jogya), Santosa (ANTV), Adi Prabowo (Sorot Jogya), Bagus Kurniawan (Detik), Primaswolo (Kedaulatan Rakyat) dan Fauzi (Sindo Jogya).
Kata “Malioboro” diambil dari nama jalan di mana DPRD berdiri yakni Jalan Malioboro, yang merupakan ikon kota Yogyakarta.
Hadir juga dalam deklarasi itu adalah Ketua DPRD DIY Yoeke Indra, Wakil Ketua Sukedi (Partai Demokrat) dan anggota DPRD Arif Nur Hartanto (PAN).“Kami yang hadir di sini, dengan kerendahan hati menyadari penuh artinya masa depan bangsa dan negara Indonesia yang tidak boleh terpecah-pecah. Indonesia adalah satu tak terbagi. Sehingga kami saling mengapresiasi niat baik dan tugas kami masing-masing. Akhirnya kami sepakat untuk kembali ke khitah tugas profesional kami,” ujar Agung PW satu di antara deklarator.
Menurut Sihono, wartawan Yogyakarta benar-benar merasa prihatin karena masyarakat sangat jelas mempertanyakan kenetralan dalam bekerja terkait dengan Pilpres 2014.
Karena pertanyaan itu, wartawan Jogyakarta merasa belum sepenuhnya memberikan edukasi politik secara baik dan cerdas.
Wartawan Yogyakarta sangat berharap rekan-rekan wartawan di kota lain akan mengikuti jejak mereka demi Indonesia yang bermasa depan lebih menjanjikan, memberikan harapan serta memberikan hidup tanpa harus terpecah-pecah khususnya bagi generasi mendatang yakni anak-cucu rakyat Indonesia.
Berikut kutipan lengkap tersebut:
DEKLARASI MALIOBORO
Proses Pilpres 2014 telah menimbulkan persepsi kurang nyaman dialamatkan kepada insan pers terkait dengan indenpensi dan netralitasnya sebagai pilar ke-4 reformasi. Hal ini tentu akan merongrong kepercayaan publik terhadap Pers Indonesia secara keseluruhan.
Sementara itu Pilpres 2014 yang hanya menampilkan 2 (dua) pasangan calon telah mengakibatkan polarisasi yang luar biasa di masyarakat, dan diakui atau tidak institusi pers dan pekerja pers terbawa di dalamnya.
Apapun, penggalan Pilpres 2014 ini akan menjadi catatan penting dalam perkembangan Pers Indonesia. Dan agar catatan ini tetap menjadi sesuatu yang bermaksa bagi cita cita luhur insan pers untuk menjadikan Pers Indonesia sebagai Pers yang berimbang, bermartabat dan mendidik maka kami mendeklarasikan tiga poin sebagai berikut:
Menyerukan kepada seluruh insan pers, baik institusi maupun pekerja pers untuk kembali ke khitahnya yang bermartabat, serta menjunjung profesionalisme
Meminta maaf kepada publik apabila selama proses Pilpres 2014 ini dirasa belum sanggup memberikan edukasi politik secara baik.
Meminta kepada publik untuk ikut berperan aktif mengontrol independensi pers.
Masyarakat Diminta Awasi Independensi Media
Senin, 7 Juli 2014 21:40 WIB
Andreas Tri Pamungkas/JIBI/Harian Jogja
Harianjogja.com, JOGJA—Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jogja Sihono menyerukan agar insan pers, baik pekerja pers, institusi pers maupun pemilik media untuk menjunjung tinggi profesionalisme pers.
Seruannya itu ia sampaikan selaku koordinator dalam Deklarasi Malioboro bersama sejumlah awak media di Gedung DPRD DIY di depan Wakil Gubernur DIY Paku Alam IX sebelum berlangsungnya rapat paripurna, Senin (7/7/2014).
“Deklarasi ini sebagai sikap atas rangkaian Pemilu yang menimbulkan persepsi kurang nyaman terhadap insan pers,” ujarnya.
Menurut dia, pers kehilangan fungsinya sebagai penyangga demokrasi menjelang Pilpres 2014 karena berafiliasinya media pada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu. “Rangkaian Pilpres akhir-ahir ini seolah sudah merongrong kepercayaan publik terhadap Pers Indonesia,” katanya.
Deklarasi itu disampaikan juga untuk meminta maaf kepada publik, karena media pada Pilpres 2014 dirasa belum dapat memberrikan edukasi politik secara baik. Ia pun meminta kepada masyarakat untuk berperan aktif mengontrol indendensi pers.
Menyaksikan dalam Deklarasi Malioboro itu pimpinan DPRD DIY Yoeke Indara Agung L, Tutiek M Widya, Janu Ismaji, dan Arief Noor Hartanto, Ketua Fraksi PAN. Adapun Paku Alam IX merespon baik deklarasi tersebut. “Bagus. Pers memang harus independen,” katanya.
LEWAT DEKLARASI MALIOBORO,
Pers Jogyakarta Minta Maaf kepada Rakyat Indonesia
Selasa, 8 Juli 2014 | 8:25
Pembacaan “Deklarasi Malioboro” oleh Wartawan Yang Bertugas Di Yogyakarta diwakili oleh Ketua PWI Yogyakarta, Sihono, Gedung DPRD, Yogyakarta, Senin (7/7). Pembacaan disaksikan oleh WaGub DIY, Sri Paduka Paku Alam IX dan Ketua DPRD Yoeke Indra. Pembacaan “Deklarasi Malioboro” oleh Wartawan Yang Bertugas Di Yogyakarta diwakili oleh Ketua PWI Yogyakarta, Sihono, Gedung DPRD, Yogyakarta, Senin (7/7). Pembacaan disaksikan oleh WaGub DIY, Sri Paduka Paku Alam IX dan Ketua DPRD Yoeke Indra.
JOGYAKARTA- Sekitar 20 wartawan mewakili para pekerja pers yang bekerja di Jogyakarta meminta maaf kepada rakyat Indonesia karena tidak memberikan pendidikan politik cerdas serta demokrasi yang baik kepada rakyat Indonesia terkait erat dengan kampanye pilihan presiden (pilpres) 2014. Pernyataan maaf itu tertuang dalam “Deklarasi Malioboro” yang diserahkan kepada Wagub DIY, Sri Paduka Paku Alam IX di Gedung DPRD DIY, Senin (7/7).
Deklarasi Malioboro adalah pernyataan hasil kesepakatan para pekerja media yang ingin mengembalikan kerja profesi wartawan ke khitahnya mengingat Pilpres 2014 membuat persatuan, integritas dan kerja profesional sebagai wartawan terbelah. Mereka mengakui bahwa kampanye Pilpres 2014 merupakan pelajaran terbaik bagi kerja insan pers yang sangat mempengaruhi masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Sebelum diserahkan kepada Paku Alam IX, Deklarasi Malioboro dibacakan oleh Ketua PWI Jogyakarta, Sihono dan disaksikan oleh para wartawan antara lain, Kusno Utomo (Radar Jogya), Taufiq (Tribun Jogya), Santosa (ANTV), Adi Prabowo (Sorot Jogya), Bagus Kurniawan (Detik), Primaswolo (Kedaulatan Rakyat) dan Fauzi (Sindo Jogya).
Kata “Malioboro” diambil dari nama jalan tempat DPRD berdiri yakni Jalan Malioboro, yang merupakan ikon kota Jogyakarta. Hadir juga dalam deklarasi itu adalah Ketua DPRD DIY Yoeke Indra, Wakil Ketua Sukedi (Partai Demokrat) dan anggota DPRD Arif Nur Hartanto (PAN).
“Kami yang hadir di sini, dengan kerendahan hati menyadari penuh artinya masa depan bangsa dan negara Indonesia yang tidak boleh terpecah-pecah. Indonesia adalah satu tak terbagi. Sehingga kami saling mengapresiasi niat baik dan tugas kami masing-masing. Akhirnya kami sepakat untuk kembali ke khitah tugas professional kami,” ujar Agung PW salah satu deklarator.
Menurut Sihono, wartawan Jogyakarta benar-benar merasa prihatin karena masyarakat sangat jelas mempertanyakan kenetralan dalam bekerja terkait dengan Pilpres 2014. Karena pertanyaan itu, wartawan Jogyakarta merasa belum sepenuhnya memberikan edukasi politik secara baik dan cerdas.
Wartawan Jogyakarta sangat berharap rekan-rekan wartawan di kota lain akan mengikuti jejak mereka demi Indonesia yang bermasa depan lebih menjanjikan, memberikan harapan serta memberikan hidup tanpa harus terpecah-pecah khususnya bagi generasi mendatang yakni anak-cucu rakyat Indonesia. (*/gor)
DEKLARASI MALIOBORO Proses Pilpres 2014 telah menimbulkan persepsi kurang nyaman dialamatkan kepada insan pers terkait dengan indenpensi dan netralitasnya sebagai pilar ke-4 reformasi. Hal ini tentu akan merongrong kepercayaan publik terhadap Pers Indonesia secara keseluruhan. Sementara itu Pilpres 2014 yang hanya menampilkan 2 (dua) pasangan calon telah mengakibatkan polarisasi yang luar biasa di masyarakat, dan diakui atau tidak institusi pers dan pekerja pers terbawa di dalamnya.
Apapun, penggalan Pilpres 2014 ini akan menjadi catatan penting dalam perkembangan Pers Indonesia. Dan agar catatan ini tetap menjadi sesuatu yang bermaksa bagi cita cita luhur insan pers untuk menjadikan Pers Indonesia sebagai Pers yang berimbang, bermartabat dan mendidik maka kami mendeklarasikan tiga poin sebagai berikut: 1. Menyerukan kepada seluruh insan pers, baik institusi maupun pekerja pers untuk kembali ke khitahnya yang bermartabat, serta menjunjung profesionalisme
2. Meminta maaf kepada publik apabila selama proses Pilpres 2014 ini dirasa belum sanggup memberikan edukasi politik secara baik.
3. Meminta kepada publik untuk ikut berperan aktif mengontrol independensi pers.
Pekerja Pers Minta Maaf ke Masyarakat
Jul 08, 2014 | radar jogja
Di masa tenang menjelang coblosan Pilpres 2014, awak media memiliki tugas tak ringan. Media harus mengawal dan memantau pelaksanaan pilpres. Tugas itu harus benar-benar dijalankan dengan jujur, independen, dan tanpa memihak salah satu pasangan capres dan cawapres.
”Posisi pers akhir-akhir ini kerap menimbulkan persepsi yang kurang baik. Masyarakat sudah banyak yang tidak percaya terhadap media. Ini karena, ada yang berafiliasi dengan salah satu pasangan capres dan cawapres,” sesal Ketua PWI Cabang Jogjakarta Sihono Harto Taruno usai menyerahkan pernyataan Deklarasi Malioboro kepada Wakil Gubernur DIJ Paku Alam IX di gedung DPRD DIJ kemarin (7/7).
Deklarasi Malioboro berisi pernyataan sikap sejumlah wartawan dan pekerja pers. Isinya berupa keprihatinan melihat kondisi menjelang pilpres. Rencananya, deklarasi itu akan diserahkan kepada Gubernur DIJ Hamengku Buwono X. Semula, wartawan merencanakan HB X ikut meneken deklarasi itu. Namun mendadak gubernur ada acara untuk menghadiri rakor dengan Bawaslu Pusat di Jakarta.
Karena itu, gubernur batal menghadiri rapat paripurna di gedung dewan. ”Nanti deklarasi ini kami serahkan ke Sri Sultan,” ungkap Wagub sesaat setelah menerima dokumen dari Sihono.
Tampak ikut mendampingi Wagub antara lain Ketua DPRD DIJ Yoeke Indra Agung Laksana, Wakil Ketua Dewan Tutiek Masria Widyo, anggota Komisi A Arif Noor Hartanto, dan Wakil Ketua DPRD Janu Ismadi. Sihono bakal mendorong seluruh insan pers kembali ke khitah sesuai amanat UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dengan kembali ke khitah, pekerja maupun institusi pers dan pemilik media harus menjunjung tinggi profesionalisme. Itu semua demi mewujudkan pers yang bermartabat. ”Rangkaian pilpres akhir-akhir ini seolah-olah merongrong kepercayaan publik terhadap pers Indonesia,” katanya.
Di depan Wagub serta pimpinan dan anggota dewan, Sihono membacakan Deklarasi Malioboro yang berisi tiga item. Pembacaan dilakukan di ruang transit gedung dewan. Secara tulus, kata dia, sebagai bagian dari insan pers meminta maaf kepada publik karena belum mampu memberikan edukasi politik secara baik selama perhelatan politik menjelang pilpres. Selain itu, mengimbau masyarakat agar ikut berperan aktif mengontrol independensi pers. Menyikapi itu, Yoeke mengatakan, dengan kondisi pilpres hanya dua pasangan calon memang rentan bagi siapa pun mendapatkan penilaian memihak salah satu pasangan calon. ”Termasuk pers tentunya,” jelasnya. Apalagi, tegas dia, jika pers akhirnya benar-benar memihak ke salah satu capres dan cawapres. ”Tidak memihak saja, rentan menimbulkan penilaian memihak kok. Makanya, pers harus benar-benar cerdas,” ungkap sang ketua dewan. (eri/amd)
Kenapa kok bukan sebelum Pilpres?
Hehehehe.. Yep… tanya kenapaaaa.. 😀