[Wisdom] Pelukan yang Selamanya Memeluk Saya

Cerita pengalaman sepupu saya yang menjadi relawan ACT untuk pengungsi Rohingya di Aceh. Sedikit mengenai sepupu saya ini, beliau bernama Nurman Priatna, anak dari Surya dan Ratna Hazil (almh). Ia adalah cucu Hazil Tanzil (alm), seorang ekonom besar di era 70an yang telah meluncurkan beberapa buku tentang ekonomi. Hazil Tanzil adalah adik kandung dari kakek saya, Jazir Tanzil. Keduanya (Hazil dan Jazir) adalah adik dari Djohan Sjahroezah Tanzil (menantu H. Agus Salim), seorang pejuang kemerdekaan bersama paman mereka Sutan Sjahrir.

Panjang bener ini silsilah. Hehehe..

Kembali ke Nurman, ia dulunya bekerja di perusahaan advertising bergengsi Ogilvy. Timnya meraih berbagai penghargaan sebagai iklan (pariwara) terbaik, antara lain iklan Hexos, di tahun 2000-an. Nurman juga salah satu sepupu Tanzil yang paling dekat dengan saya di antara ratusan cucu Tanzil lainnya. Kami dekat sejak kecil. Kini Nurmie–begitu saya memanggilnya, tumbuh menjadi lelaki sholeh, suami yang sabar dan bapak dari dua gadis kecil cantik. Anak-anak cantik Nurmie sampai sekarang belum pernah ketemu sama tantenya yg juga cantik ini…hiks… *lho kok curhat* 😀

Okay, without further ado, berikut adalah cerita pengalaman beliau menjadi relawan untuk pengungsi Rohingya.

Pelukan yang Selamanya Memeluk Saya

wpid-fb_img_1433656708345.jpg
(Dok. Nurman Priatna)

Alhamdulillah, dua hari terakhir ini, sampai juga saya ke pengungsian sementara saudara-saudara Rohingya di Aceh Utara, tepatnya di kecamatan Kuala Cangkoy, desa Tanah Pasir dan pelabuhan Kuala Langsa. Bekerja di divisi yang menangani strategi dan eksekusi kreatif berbagai materi komunikasi lembaga kemanusiaan ACT, membuat kesempatan ini demikian mewah bagi saya. Akhirnya ada rehat dari hari-hari sibuk dalam ruangan untuk brainstorming, berjibaku di studio desain dan audio visual, serta memonitor konten dan aktivitas akun-akun media sosial yang seolah tak pernah berhenti.

Berbagai perasaan bercampur baur dalam hati. Saya telah mengikuti kisah sedih Rohingya sejak 2012. Waktu itu saya masih bekerja sebagai praktisi kreatif di sebuah perusahaan periklanan. Saya tak habis pikir, ketika sahabat-sahabat ACT menceritakan kisah Rohingya yang teraniaya puluhan tahun di negeri yang sebenarnya tak jauh dari Indonesia. Hanya segelintir yang mengetahui derita mereka yang dibantai puluhan tahun hingga tersisa kurang dari sepersepuluhnya saja. Tak heran, PBB menobatkan mereka sebagai etnis paling teraniaya di dunia.

Kembali ke perjalanan kali ini. Diawali rute udara dari Jakarta hingga Medan, sejenak kami mampir ke kantor cabang ACT Medan yang baru dua minggu lalu dioperasikan, salah satunya untuk mendukung aktivitas membantu saudara-saudara Rohingya ini. Perjalanan dilanjutkan selama tujuh jam dengan mobil ke Aceh Timur yaitu pelabuhan Kuala Langsa, di mana posko dan lokasi pengungsian ACT berada. Kemacetan terjadi di pintu pelabuhan. Antrian panjang mobil-mobil pribadi, truk bak terbuka, dan puluhan motor tampak mengular. Ternyata di pintu pelabuhan, polisi-jaga ketat menyeleksi sebelum mengizinkan pengunjung masuk. Kebanyakan masyarakat Aceh yang tak memiliki kepentingan khusus dan datang atas nama pribadi diminta untuk kembali berputar, tak diizinkan masuk. Walau mungkin kecewa karena itikad baik mereka bersilaturrahim dengan pengungsi tak terwujud, semua berjalan tertib. Ah, beda banget dengan Jakarta dengan segala dramanya. Yang jelas salah aja bisa ngotot luar biasa.

Senang sekali saat kami memasuki area pengungsian. Wajah-wajah pria dewasa Rohingya yang rata-rata berkulit hitam manis dan bermata besar tampak berbinar, salam terucap dari bibir-bibir mereka. Sebagian tengah asyik bermain sepakbola, sebagian duduk-duduk menikmati suasana. Alhamdulillah, saya selalu merasa doa mereka tak berjarak dari ridha-Nya. Bahkan menerima dan membalas salam mereka juga berarti mengumpulkan doa keselamatan dan keberkahan bagi diri saya. Senyum kini menghias bibir mereka, demikian beda dengan foto-foto mereka histeris berteriak minta tolong dari kapal-kapal kayu yang hampir tenggelam di perairan Aceh Timur dan Utara.

Sampai di posko ACT, tampak anak-anak bermain di mini playground di depan tenda pleton ditemani para wanita Rohingya. Tak semua anak bersama ibu dan ayahnya. Sebagian orang tua mereka terbunuh di negerinya, terdampar di negara lain tanpa kabar berita, tak sedikit yang wafat saat berbulan-bulan terombang-ambing di tengah lautan karena kehausan, kelaparan atau menahan sakit tanpa pengobatan. Entah bagaimana anak-anak ini bisa bertahan, dipanggang panasnya matahari serta dinginnya malam di tengah lautan terbuka. Tampak mereka mulai tersenyum walau masih malu-malu. Saya pun masih malu-malu; setengah terharu, setengah masih terlalu kaku karena sudah lama tidak turun ke lapangan. Saya pengen banget menggendong dan memeluk anak-anak itu, tapi entahlah, pada pertemuan pertama itu hanya berjabatan dan membelai kepala mereka yang saya dapati. Memang waktu sangat pendek, dan kami masih mengejar waktu menuju Lhokseumawe malam itu. Membuat saya sedikit menyesal saat larut malam hingga dini hari briefing untuk merencanakan pembangunan Integrated Community Shelter bagi mereka, sebagaimana didukung dan cepat diizinkan oleh pemerintah daerah Aceh Utara. Memasuki jumat yang berkah, saya berdoa diberi-Nya kesempatan kedua.

Kesempatan kedua itu hadir jumat sore, 5 Juni 2015. Berbagai aktivitas digeber sejak pagi; briefing sambil meninjau lokasi shelter di Kuta Makmur, memenuhi undangan siaran di RRI Lhokseumawe, silaturrahim dengan aparat sekretaris daerah Aceh Utara, shalat jum’at, lalu kembali briefing sambil makan siang. Atas izin Allah SWT, sore hari kami sampai ke Kuala Cangkoy, tepi laut yang permai di mana 332 pengungsi Rohingya sementara ditampung. In sya Allah, seluruh ikhtiar kami dua pekan ke depan akan berfokus membangun shelter untuk ditempati mereka di pengungsian ini sebelum Ramadhan.

Sejenak saya kesampingkan beban proses pembangunan shelter secepat kilat yang telah beberapa kali dituntaskan ACT di Jogja, Padang, serta terakhir Banjarnegara. Saya benar-benar menikmati ngobrol, bermain dan menikmati waktu ceria bersama saudara-saudara Rohingya, khususnya para ananda hebat yang ditakdirkan Allah SWT bertahan hidup melewati segala kesulitan dan bisa hadir di hadapan kami. Kasihan anak-anak itu, banyak yang masih mengalami sakit kulit, tampak di bagian kepala, ada juga yang memperlihatkan luka di punggungnya yang masih dalam perawatan. Tapi tampaknya mereka tak mau melihat saya menye-menye, malah saya dikerubungi, digelendoti bahkan beberapa terus minta digendong dan dipeluk. Anak-anak ini ternyata seru banget. Satu anak perempuan yang masih berusia 16 bulan tak mau melepaskan pelukannya bahkan saat semua teman sudah menunggu di dalam mobil yang harus segera kembali ke posko utama di Lhokseumawe. Saya melambai dan melambai kepada mereka di balik kaca, berharap bisa bertemu lagi, insya Allah di shelter yang lebih nyaman dan layak untuk mereka huni dalam waktu panjang, hingga mereka kelak mampu mandiri. Tak hanya menemukan, tapi sudah meyakini dan mewujudkan harapan hidup kembali.

Hingga dini hari kala saya menuliskan cerita ini, pelukan demi pelukan anak-anak Rohingya itu masih terasa. Dan saya rasa takkan pernah hilang dampaknya. Kemanusiaan hanya dapat dihidupkan melalui perbuatan. Bukan teori dan ucapan belaka. Bagi sobat yang pesimis, atau skeptis, silakan buktikan sendiri. Hadirlah di antara mereka yang mungkin belum pernah merasakan hidup yang bebas dari rasa takut sebelumnya. Mengalirlah bersama arus kebahagiaan mereka. Saling berlomba dalam memuliakan mereka. Puaskan hati dengan berbuat yang terbaik, sebaik-baik yang bisa kita berikan. Temukan nyamannya hati menatap senyuman mereka, sebagaimana menemukan janji Ilahi Rabbi bahwa jika kita melepaskan satu kesulitan hidup mereka, maka akan terlepas pula kesulitan kita di hari saat tiada yang mampu melepaskan segala kesusahan kita. Kala menyelamatkan satu jiwa bernilai menyelamatkan seluruh umat manusia. Pelukan-pelukan anak-anak kita Rohingya ini selamanya jadi penyemangat di dunia, dan semoga jadi penyelamat kelak di akhirat bagi saya, serta sobat semua. In sya Allah. Aamiin yaa Robbal ‘alaamiin.

Lhokseumawe, 6 Juni 2015

Nurman Priatna

(as written in: https://www.facebook.com/nurman.priatna/posts/10153383866378894)

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.