Sepulang dari Plaza Semanggi tadi saya naik taksi Blue Bird. Rada tertegun karena sopirnya perempuan, muda dan gaul (karena radionya memutar lagu Black Eyed Peas dan Maroon 5, hehe..) saya langsung menebak, “Masih kuliah ya, Mbak?”
Perempuan ayu bernama Elfa Oktaviani itu mengiyakan pertanyaan saya. Dari spion tengah saya bisa melihat sunggingan senyumnya. Manis. Selanjutnya perbincangan mengalir. Baru tiga bulan ia jadi sopir taksi Blue Bird. Capek nggak, merambahi jalan Jabodetabek sepanjang hari, setiap hari. “Capeknya dibawa senang aja, Bu. Kalau senang, kita menjalaninya enak,” jawabnya. Saya terkesan dengan gaya bicaranya yang polos tapi terpelajar itu.
Perjalanan Semanggi – Benhil memakan waktu kurang dari 20 menit, tapi saya mendapatkan banyak pelajaran dari Elfa, yang saya perkirakan berusia tak lebih dari 21 tahun itu. Seusia adik bungsu saya, Ellivia Nadia Putri.
Elfa adalah anak tertua, memiliki dua adik, perempuan (kuliah di Yogya) dan laki-laki (kelas 3 SMP). Ayahnya sudah tiada sejak 10 tahun lalu. Sejak itu ia turut banting tulang membantu ibunda membiayai diri sendiri dan adik-adiknya.
“Saya sempat cuti setahun untuk bekerja, karena tempat kerja yang lama tidak membolehkan pekerjaan terganggu kuliah. Ya sudah, saya pikir biar adik saya dulu saja yang selesai kuliah. Alhamdulillah sekarang adik sudah hampir selesai kuliah dan sudah bekerja magang juga di Pertamina Yogyakarta,” tutur mahasiswi jurusan Informatika BSI Bekasi ini.
Syukurlah, Blue Bird tempatnya bekerja memberi perlakuan khusus bagi pengemudi yang masih berstatus mahasiswa. “Saya boleh libur di hari tertentu untuk kuliah. Jadi jadwalnya beda dengan driver lain,” katanya. Ia juga mengaku digaji dengan sistem flat fee dan menyetor Rp500.000 per hari. Jadi, setiap harinya ia berangkat subuh dari pool-nya di Bekasi dan pulang ketika setoran sudah sampai di angka Rp500.000. Biasanya sekitar pukul 17.00an.
“Asyik kok Bu jadi sopir taksi. Ketemu banyak orang, macam-macam perilakunya, dan karena kita jalan-jalan terus, yang tadinya nggak tau jalan ke situ, sekarang jadi tau,” jelas Elfa, ceria.
Hanya satu hal yang menurutnya berat. Yaitu soal buang air. “Kalau laki-laki sih gampang mau buang air kecil bisa minggir dan cari pohon. Lha kita yang cewek kan susah. Makanya tadi mampir ke Plangi tadinya mau buang air kecil dulu, eh (antrian) teman-teman ternyata maju terus. Ngga jadi deh,” katanya. Iba, saya segera menawarkan Elfa untuk singgah sebentar di kantor guna ke toilet, tapi dengan sopan ia menolak. “Nggak apa-apa, Bu, saya masih bisa tahan kok,” sahutnya sambil tersenyum lebar.
Minum banyak adalah suatu keharusan bagi sopir taksi dalam kota seperti Elfa. Karena seharian menyetir dan terkena AC, mereka bisa dehidrasi. “Risikonya minum terus ya beser, Bu,” ia terkekeh.
Saya sempat berceloteh soal banyaknya para perempuan tangguh yang berprofesi sebagai sopir dan kondektur bus kota saat ini di Jakarta, Elfa mengiyakan. “Betul, Bu, sekarang kondektur Kopaja AC juga banyak perempuan,” cetusnya. Sebagai sesama perempuan bekerja, plus orang lapangan yang juga melihat sendiri kerasnya Jakarta, saya salut dengan ketangguhan mereka. Apalagi mengingat pergaulan di jalanan dan terminal sangat keras. “Kalau saya, alhamdulillah, teman-teman di pool memperlakukan saya dengan baik dan sopan,” ujar Elfa, seraya menambahkan ada enam sopir perempuan di pool-nya, tapi yang berstatus mahasiswa hanya dia.
Elfa mengaku kadang iri dengan orang-orang yang jadi penumpangnya. “Kelihatannya enak banget ya bisa setiap hari berangkat dan pulang kerja dengan taksi, tinggal duduk manis lalu bayar. Kerja apa ya mereka. Gajinya berapa. Tapi lama-lama saya sadari, itu hanya kelihatannya saja enak. Saya yakin yang namanya kerja pasti capek dan semua orang punya masalahnya masing-masing, hanya kadarnya saja yang beda. Berpikir begitu, saya jadi bersyukur bisa kerja sebagai sopir taksi,” celotehnya, membuat saya tertegun dan mengangguk-angguk, sepakat.
Sepanjang perjalanan saya perhatikan, tak ada intonasi keluhan di suaranya. Raut wajahnya pun tanpa beban. Tampaknya Elfa menjalani hidup dia yang pastinya berat itu se-enjoy mungkin. Di sini saya mulai malu hati. Hidup saya mungkin saja tidak lebih berat darinya, tapi saya merasa masih sering mengeluh. Kalah telak saya sama gadis muda yatim, yang memilih menikmati pekerjaannya menjadi sopir taksi satu ini. Sopir di Jakarta lho, tingkat kesulitannya level dewa! Ah.. Malu saya.
Dik Elfa, semoga Allah selalu melindungi setiap perjalananmu. Ini adalah jihadmu, demi menafkahi ibu dan adik-adikmu. Semoga Allah meridhoi dan memberkahi. Sampai jumpa lagi ya, dik..
Leave a Reply