
Salah seorang kawan saya, Husni Fatahillah Siregar, yang tampaknya sudah melihat wawancara BBC World News dengan Prabowo Subianto yang saya terjemahkan dalam transkrip di blog ini, menuliskan komentar berikut di facebook saya.
Kalau boleh numpang komen,ada hal kontradiktif dlm catatan mbak Nina. Di bagian akhir mbak Nina menyatakan “kalau masih menghina atau menghujat berarti pemahaman demokrasinya masih bayi”. Apakah berlaku juga utk PS? Krn ketika ia ditanya ttg karakter JKW, dengan lancarny ia mengatakan itu bukan karakter asli,hanya akting.JKW mengaku rendah hati pdhl hanya akting. Maaf penilaian sy yg tlalu subjektif, tp mnrt sy apa yg mbak nina tulis di bag akhir gak nyambung dgn pernyataan PS. Sy tdk tahu kalau pernyataan itu dianggap biasa dan sesuatu yg ceplas ceplos serta apa adany dr karakter PS. Tp tidak bijak rasanya seorang peminpin yg akan menjadi panutan kita, tidak bisa menjaga lisannya. Karena masyarakat awam yg memang pemahaman demokrasinya masih “bayi” akan menelan mentah2 apa yg diucapkan pemimpinnya, dan itulah yg sy lihat yg terjadi di masy kita. Saling hujat saling caci, kenapa? Karena para pemimpinnya juga menunjukkan bhw slg caci dan hujat itu hal biasa. #efek Argentina kalah,jd ngelantur π
Saya tersenyum simpul membaca komentar tersebut. Apalagi karena yang mengatakannya adalah salah satu orang yang sangat saya hormati pendapatnya, mengingat beliau memiliki kapasitas untuk membahas soal politik. Plus, ditambahkan kalimat jenaka sebagai penetral suasana. Hehehehe.. I appreciate it, Mas. π Berikut, izinkan saya meng-copy paste jawaban saya.
Itu (kritikan soal demokrasi masih bayi) berlaku untuk dua arah, segala arah, termasuk diri saya sendiri. Sebetulnya kalau dicermati lagi, pendapat saya ya pendapat saya. Hanya karena saya “meng-endorse” Prabowo bukan berarti saya menuhankan dia. Tentu saja, dia juga bisa subjektif. Dalam hal ini ucapan dia tentang Jokowi. Mau bahas soal itu?
Hehehe.. membuka masalah ini, harus sedikit mengorek urusan intelijen nihh.. Satu hal yang bisa saya katakan, Prabowo tidak sebodoh dan segegabah itu. Kenapa dia harus mengungkapkan hal tersebut di media, apalagi media asing? Itu pastinya sudah dipikirkan, tidak asal jeplak. Kan beliau negarawan. Meskipun kita yang “awam” ini menilai, “Ih, Pak PS terlalu emosional. Pak PS terlalu kekanakkan.” —itu kan kata kita. Kata orang ahli/pengamat politik, beda lagi pastinya.
Boleh reveal sedikit soal siapa Jokowi bagi Prabowo?? Apa perlu saya ingatkan Prabowo-lah yang mengangkat Jokowi ke Jakarta? Tahukah masyarakat bahwa Prabowo sampai harus menghadap Megawati, literally begging her, agar Jokowi diajukan sebagai Gubernur Jakarta kemarin itu? Prabowo lah yang “me-nurture” Jokowi sepanjang masa kampanye Pilgub kemarin. Sebagai orang yang membawa dan tentunya sebagai mentor, ia pasti bisa menilai kualitas sebenarnya dari Jokowi. Nah!
Selama ini Prabowo tutup mulut soal sifat asli Jokowi (yang dilihatnya). Kalau kali ini dia ceploskan demikian, artinya dia sudah mempertimbangkan bahwa masyarakat harus tahu yang sebenarnya. Toh ucapan dia TIDAK AKAN memengaruhi hasil Pilpres, karena masyarakat SUDAH MENCOBLOS.
Mas Husni paham maksud saya? Bukankah itu artinya dia orang yang bijak?? Oh, btw, saya bukan Timses Prabowo, tapi saya bisa melihat benang merahnya. Hehehehehe… Jadi jangan bilang bahwa Prabowo adalah orang yang tidak bisa menjaga lisannya. Oh dia SANGAT BISA! Buktinya, dia menunggu sampai Pilpres selesai, baru dia ungkapkan APA YANG DIA TAHU TENTANG JOKOWI.
Kalau dia tidak bijak, sejak awal dia akan gembar-gembor soal “man of act”-nya Jokowi. Kalau PS tidak bijak, dia tidak akan rajin mengimbau agar pendukungnya KEEP CALM, THEY (kubu Jokowi) ARE OUR BROTHERS, NOT OUR ENEMIES.
Sekarang, setelah membaca penjelasan saya, bisa dilihat kah siapa yang tidak bijak? π
Oh ya, Mas, yang kita bahas di sini menarik banget, mohon izin mengangkatnya dalam blog saya ya?
Kemudian beliau membalas lagi..
Nah,itu dia maksud sy mbak Nina. Kalau memang PS sdh tahu karakter JKW apakah iya hrs disebarkan ke org lain. Sebaik2 seorang manusia apabila ia bisa menjaga aib saudaranya sendiri. Dan knp sy sampai mengeluarkan pernyataan PS tidak bijak, bkn sy tidak suka PS. Sy slh satu pengagum beliau. Tp skali lg yg sy ingin sampaikan sbg pemimpin alangkah lbh baik dlm situasi yg serba sensitif ini, PS bs mengeluarkan pernyataan2 yg lbh menyejukkan hati baik buat pendukungny dan juga utk masy luas.
Mgkn pemahaman sy jg msh kurang. Tp sy mencoba melihat dr kaca mata masy awam. Mumet mbak kl tlalu tinggi, apalg smpe ke intelejen sgala,hehe…btw, monggo loh kl mau diangkat ke blogny, kok pake ijin sgala π
dan saya balas berikut:
Terima kasih izinnya, Mas. Tetap dong harus permisi dulu, hehehehe..
Anyways, saya setuju dengan yang Mas Husni bilang: “Tp skali lg yg sy ingin sampaikan sbg pemimpin alangkah lbh baik dlm situasi yg serba sensitif ini, PS bs mengeluarkan pernyataan2 yg lbh menyejukkan hati baik buat pendukungny dan juga utk masy luas.”
Betul itu, ndak salah. Dan bukannya saya bermaksud membela dia (karena saya ngga punya kepentingan membela siapa-siapa, sekadar memberi pendapat saja), dia mengungkapkan “aib” itu bisa jadi karena sedang mendorong agar demokrasi kita ini ngga lagi jadi bayi. Minimal sekarang jadi balita lah. hahahaha.. Maksudnya, strategi itu dilakukan dengan tujuan mengatakan kepada masyarakat, mbok ya melek sedikit dan lihat siapa itu sebenarnya orang yang mereka idolakan itu. Yah walaupun taruhannya adalah nama baik dia sendiri. Dengan begitu dia pasang badan juga sih kena hujatan. And he did. Tapi liat deh, dia komplain ngga sama hujatan masyarakat itu?
Sometimes to tell the truth, it will cost you HUGE at one time, but eventually it will be good in the long term point of view. π
Tadinya saya mau membahas lagi soal di atas, tapi sudah cukup jelas kayaknya, ya. Begitulah kebiasaan “buruk” saya, yaitu menulis panjang. Hehehehe.. Intinya sih, apa yang terlihat tidak selalu sama seperti kelihatannya.

Di wawancara, kelihatannya Prabowo begitu emosional. Padahal kalau dicermati, dari apa yang dibahas oleh keduanya, baik pewawancara (Sharma) maupun narasumber (Prabowo), itu biasa saja.Tidak ada bantah-bantahan soal HAM, seperti yang ditudingkan orang lain. Kalaupun ada ucapan yang saling bertumpuk, ya itu karena delay waktu, mengingat studio BBC World News ada di London, United Kingdom (Inggris Raya), sedangkan Prabowo waktu itu ada di rumahnya di Bogor.
Mungkin yang jadi tekanan masyarakat di sini, seperti pendapat Mas Husni di atas, adalah soal pembeberan “aib” rivalnya. Bukankah itu emosional? Hmmm.. Itu juga sudah saya bahas di atas. Bisa jadi saat itu Prabowo berpikir, sudah waktunya masyarakat tahu. Jangan biarkan masyarakat terus-terusan terlena dengan pencitraan yang dilakukan oleh kubu Jokowi.
Kalau ada KawaNina yang bertanya, bagaimana menurut Nina sendiri soal Jokowi? Hmm.. Entah apakah jawaban saya ini relevan, tapi sepertinya kawan-kawan perlu tahu sih. Awalnya saya sangat mengidolakan Jokowi. Ketika ia sedang berupaya menjadi Gubernur DKI Jakarta, saya mengaguminya. Betapa tidak, ia adalah sosok sederhana, merakyat (down-to-earth), pekerja keras. Sama seperti yang didefinisikan masyarakat Indonesia pada umumnya, begitu juga saya melihatnya. Dulu.
Lalu, saya melihat siapa orang di belakang Jokowi–yang membawa dia ke Jakarta–ternyata Prabowo, satu kalimat yang saya lontarkan waktu itu, “Wah, bisa jadi ini sudah direncanakan, Jokowi jadi Gubernur, lalu Prabowo jadi Presiden RI. Dengan adanya Jokowi sebagai DKI-1, artinya posisi Prabowo untuk jadi RI-1 bisa lebih kuat. Ini gawat..” Ya, waktu itu saya berpikiran bahwa Prabowo belum pantas jadi Presiden RI untuk periode ini, tapi siapa lawannya kelak? ARB? Surya Paloh? Jusuf Kalla? Oh my God, No! Semoga ada kandidat lain. Begitu pikiran saya!
Namun seiring waktu berjalan, melihat Jokowi yang selalu jadi media darling, dikuntit ke mana-mana, blusukan sana diliput, blusukan sini diliput. Lama-lama saya jadi melihat, ini ada yang ngga beres nih.. Bukan apa-apa, saya dulu juga wartawan yang ngepos di satu lokasi. Di Mabes Polri, di Polda Metro, di Kejaksaan Agung. Tapi saya, dan kawan-kawan wartawan lainnya, ngga ada yang (maaf) se-freak itu selalu mengikuti ke manapun Kapolri/Kapolda/Jaksa Agung pergi.
Dulu kami juga punya rekan sekantor yang bertugas ngepos di Balai Kota DKI Jakarta, Istana Presiden, Istana Wakil Presiden, Kementerian… tapi ngga satupun ada wartawan yang terus-terusan “mengintili” gubernur. Kalau presiden atau wakil presiden diikuti terus ke mana-mana, wajar lah. Mereka kan orang nomor 1 dan 2 se-Indonesia. Itupun biasanya atas perintah Pemimpin Redaksi (Pemred) atau Redaktur, “Tempel terus RI-1 dan RI-2.” Intinya: reporter/wartawan manut titah Pemred.
Melihat banyaknya wartawan terus mengekor Jakarta-1, membuat saya berpikir, “Pastinya titah Pemred. Mustahil reporter bekerja sendiri di luar tupoksinya dan ‘chains of commands’-nya.” (Hehehehe.. gaya banget dehhh bilangnya chains of commands, kayak tentara aja) Trus ada apa semua Pemred itu memerintahkan reporternya terus-terusan nempel Jakarta-1?
Jangan-jangan semua yang diungkapkan sejumlah “orang dalam” di blog mereka tentang Jokowi dan Prabowo itu ada benarnya. Bahwa Jokowi hanya melakukan pencitraan? Bahwa Prabowo ternyata memang hanya difitnah?

Sebagai orang yang pernah berkecimpung di dunia media, pernah terjun ke lapangan, saya bisa mengatakan bahwa cerita yang sebenarnya/sejujurnya terjadi justru adalah INSIDE STORIES. Bukan apa yang dipublikasikan di media massa. Maaf saya membuka rahasia ini. Tak bermaksud menjadi pengkhianat media. Namun, jika Anda seorang jurnalis, seorang reporter, pasti Anda akan mengakui bahwa kata-kata saya benar.
Kebenaran yang kita (jurnalis) pegang adalah kebenaran yang terbelenggu aturan. Dan aturan utama yang urusannya dengan etos kerja dan etika jurnalistik, selain mencerdaskan masyarakat/bangsa, adalah: menjaga kedamaian dan ketertiban publik. Kita tahu kebenaran di balik “kebenaran” yang kita tuliskan dan publikasikan di media kita, tapi kita sudah bersumpah untuk menjaga agar tidak timbul chaos. Untuk itulah kita hanya menuliskan yang “aman” dan tidak mengungkapkan yang “sensitif”nya.
Adalah pengkhianatan profesi (baca: melacur) ketika seorang jurnalis yang mengetahui kebenaran di balik kebenaran tadi, tapi justru malah menuliskan kebalikannya hanya karena berkepentingan dan diperintahkan demikian. Pengkhianatan, karena seorang jurnalis pasti mampu membuat fakta positif jadi berkesan negatif, PUN membuat fakta negatif menjadi positif–alias menggiring opini. Kan jurnalis tidak terlalu jauh beda dengan pengacara. Karena, seorang pengacara paham celah-celah yang ada pasal dalam UU/regulasi, sedangkan seorang jurnalis paham celah dalam berkata-kata (alias permainan bahasa).
Kira-kira itulah fakta singkat kenapa saya pindah haluan dari mengidolakan Jokowi jadi ke Prabowo. Aslinya sih puanjaaaang dan banyaaaaak sekali, tapi sudah, kalau untuk konsumsi publik, cukuplah yang saya jelaskan di atas itu. π
Anyways, itu semua hanya analisis dan opini saya berdasar pengalaman pribadi ya, bukan berarti ini argumentasi yang paling benar. Kebenaran itu relatif dan bergantung pada pengalaman dan point of view seseorang. Makanya, kebenaran yang relatif itu hanya bisa untuk diterapkan kepada diri sendiri, bukan untuk umum.
Sedangkan kebenaran absolut, yang berlaku untuk umum, dan HARUS diterima baik suka ataupun tidak suka, itu hanya Allah yang memilikinya. Kita sebagai manusia, mungkin bisa sedikiiiit saja memiliki dan menegakkan kebenaran yang umum tersebut, tapi mampukah kita dengan konsekuensinya?
Aih maaf jadi melantur.. Lebih baik saya akhiri di sini sebelum saya membuat entry tulisan ini menjadi sebuah novel. Hahahha..
Enjoy your blog-walking and reading here, folks. And thank you for visiting. It’s a great honor.
Sedikit menanggapi. Pertama, pernyataan anda mengenai “Kalau dia tidak bijak, sejak awal dia akan gembar-gembor soal βman of actβ-nya Jokowi.” Langsung terbantahkan jauh ketika kampanye legislatif. Beliau mengatakan dalam orasi-orasinya secara indirect bahwa jokowi adalah ‘capres boneka’ dan ‘kambing’. Bagaimana itu sebuah hal yang bijak?
Kedua, definisi media darling itu disebabkan karena apa? Kepentingan media adalah cari untung kok. Berita apa yang kiranya bisa menaikan readership/hits kalo media online? Dalam kasus ini selama ini berita mengenai jokowi memang dicari2 orang. Kalau nggak dicari orang, otomatis nggak menguntungkan buat si media. Kalau nggak menguntungkan, redaktur tidak akan suruh wartawan cari beritanya lagi. Logika simpel.
Iya saya tau ada media2 yang digunakan pemiliknya untuk berpolitik. Tapi pada akhirnya media2 netral akhirnya dalam keadaan genting ini juga memilih. Antara hitam dan putih. Mereka pilih putih. Sudah baca redaksional jakarta post kan?
Semoga komentar saya ini nggak di-hidden/delete ya.
Utomo W.
Wah… belum apa-apa, Anda sudah berasumsi komentarnya akan di-hidden/delete. Sudah sebegitu skeptisnya kah dua orang warga negara Indonesia yang berbeda pilihan Capres, sehingga untuk memercayai kebijaksanaan orang yang diajak bicaranya saja sudah sulit sekali? π Hehe.. Maaf. Mari kita lanjut.
Terima kasih atas pendapat yang Mas Utomo ungkapkan. Sangat saya hargai. Perbedaan, termasuk perbedaan pendapat, adalah kekayaan. Alhamdulillah, berarti kekayaan–ilmu dan silaturahmi–saya bertambah nih. π
Saya ngga akan menyanggah apa yang Mas ungkapkan di sini, karena memang begitulah adanya. Kebenaran relatif. Persepsi.–Ah! Itu dia kata yang tadi saya ingat-ingat selama menulis. Apaaa ya sinonimnya. Yes. Persepsi! “Diskusi” dengan Mas Utomo membuat saya ingat kembali kata tersebut, terima kasih. π
Seperti melihat gajah dari sisi depan, samping dan sisi belakang. Bisa saja kita heboh mempertahankan pendapat masing-masing. Si A, yang melihat gajah dari belakang, ngotot bahwa yang namanya gajah itu bentuknya bulat, berkaki dua, dan di tengahnya ada ekor. Si B, yang melihat dari samping juga ngotot bahwa yang namanya gajah itu berkaki empat dan kupingnya satu, ada belalainya, ada ekornya. Si C, yang melihat dari depan, pun ngotot, bahwa yang namanya gajah itu bulat, bermata dua, ada belalainya, ada gadingnya dan kakinya dua. π
Buat orang yang berilmu dan bijak, jawabannya sederhana, “Ngapain ngotot?” Karena semua keterangan yang disampaikan si A, B dan C itu benar semua kok. Tergantung dari persepsi masing-masing. Pertanyaannya cuma satu: mau menggunakan semua informasi itu agar mendapatkan satu bentuk gajah yang utuh atau tidak?
Tanggapan saya mungkin ngga menjawab secara spesifik pertanyaan Mas Utomo. Eh…emangnya ada pertanyaannya ya? Hahahaha.. :p Maksud saya, toh Mas Utomo pun tidak bertanya toh? Kalaupun ada pertanyaan, retorika. Ngga perlu saya jawab, karena sudah dijawab sendiri sama Mas.
So, terima kasih banyak sharing pandangannya. Sangat saya hargai. π
Sering-seringlah mampir ke blog saya ya. Hehehehe… Salam hangat dari Tangerang Selatan.
NYIMAK,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Monggo, Bung Erkham..
Terima kasih sudah mampir dan menyimak. Semoga bermanfaat yah. π
wah emang ada benarnya juga sih apa yang di katakan ba nina ini dan saya sangat setuju terhadap ba nina mengenai media yang terus menguntit JKW tanpa henti. den juga atas keberpihakan media terhadap salah satu calon. selama ini juga saya sangat bt kalo melihat berita yang terus menerus menjatuhkan salah satu capres dan memuji capres lainnya. dapat di bilang dalam pemilu taun ini hampir 70% media yang punya nama memberitakan berita yang tidak berimbang. salah satunya ya media yang dulu jaman orde baru terkenal sebagai media netral dan berani menentang pemimpin pada zaman itu sekarang menjadi melempem dan ikut ikutan berpihak. miris saya lihat media di indonesia berkelakuan seperti ini.
Pak Mujib, terima kasih banyak sudah berbagi pendapat. Bisa dibilang memang kegelisahan masyarakat atas keberpihakan media sudah pada titik kritis. Semoga ke depannya semua media di Indonesia ini bisa kembali jadi media yang bisa dipercaya masyarakat, ya.. saya optimis! Apalagi sudah ada Deklarasi Malioboro 7 Juli 2014 lalu di Yogyakarta. Insya Allah. Aamiin! π
muak gue baca media pro jokowi dan serangan kepada orang yang berbeda pendapat, generasi “beda = salah” bener-bener bikin sakit kepala, prabowo dan a jokowi tetep aja manusia biasa yang kalo di”telanjangin” pasti ada cacatnya, gue heran aja dua kubu ini isinya orang pinter tapi yg dikerjain saling mengupas cacat, kalo mengupas cacat sih gak butuh orang pinter… tapi orang sirik.
dan… gue gak mendapat pelajaran apa-apa dari timses pilpres selain melihat dua kubu yang cakar-cakaran gak jelas dikompori pebisnis isu (menurut gue yah bodoh aja nih timses). lanjutkan aja teh nin, muak dengan internet yang sudah mulai monoton, isinya jokowi, jokowi dan jokowi… siapa dia mana gue tahu, sama gak taunya gue tentang prabowo.
btw semakin banyak yang benci prabowo kayaknya gue malah lebih suka dia, semakin banyak cacatnya yang diungkap semakin tahu dia seperti apa. jokowi? gue gak tahu apa-apa soal dia.
Hihihi Daeng Icoooot.. tumbeeen bisa lose your cool? Saking udah bete berat ya, Daeng? But, I feel you! Yah begitulah.
Aku sepakat dgn ucapan Daeng, “Kalau mengupas cacat sih gak perlu orang pinter (maksudnya jurnalis/pengamat kan?), cukup orang sirik/iri aja yang nulis.” Persis!! π
Makanya dalam beberapa kesempatan, aku sering bilang ke temen2, baik dunia maya maupun nyata, media kita ini benar-benar sudah berdosa besar sama rakyat Indonesia. Selain mempertontonkan hal yang vulgar (dan notabenenya adlh “ngajari” masyarakat utk berkomentar vulgar juga!), media juga sudah berdosa karena menggiring publik beropini hitam dan putih. Ngga lagi dikasih kesempatan utk berpikir jernih. Kalau boleh jujur, Pilpres kali ini dan korelasinya dengan media massa, aku sih kayak ngeliat opera sabun bawang merah vs bawang putih, dan medianya sbg bawang bombay. Lebay! π
Tengkyu udah mampir, Daeng. Sering-sering ya! Hehehe..
Saya lebih yakin: apa yang dikatakan oleh Prabowo selama ini di hadapan publik, terutama yang bermaksud ‘menyerang’ kubu lawan lebih merupakan pantulan dari apa yang sesungguhnya dilakukkan oleh dirinya sendiri…”salam mba Nina”
Sayangnya kadang keyakinan tidak berbanding lurus dengan fakta yang terjadi, Pak. Siap-siaplah kecewa, karena saya lihat, pola “permainan” politik saat ini tidak lagi sepolos/senaif dulu. Kenapa saya bilang begini? Karena sudah masuk “ahli2 kampanye asing” seperti Alan Nairn itu ke Indonesia. Begitu kami lihat ada unsur asing masuk, otomatis kami berpikir, “Oke, ibarat game, level permainan sekarang sudah meningkat nih..”
Semoga Anda paham dengan yg saya maksud. Mungkin benar bahwa skrg demokrasi kita sudah dipaksa dari bayi menjadi balita, bahkan remaja. Wow. Sudah siapkah masyarakat kita? Minimal kaum cerdas dulu deh yang mengawali kesiapan menghadapi perubahan kualitas demokrasi ini. π
Jenis tulisan yg mencerdaskan bangsa. Lanjutan …
Eeeeh tumben kakakku mampir. π Suwun, Mas Taka. My hugs buat keluarga Bangka yaa.. π
Punten ah ngiring ngalangkung π
Perlu beljar nulis nih dri mba nina., saya sngt suka dgn buku2 cerita, novel cinta dan perjuangan(Sejarah) tapi dari sekian bnyak novel yg saya baca lebih suka baca tulisan2 mba nina kapan di bikin novelnya nih hahahaaha
Oh ya? Ahahahaha.. Alhamdulillah kalau lebih suka tulisan saya, Mas Lukman. Saya rada hariwang (kuatir) karena saya tu kalau nulis pasti panjang. Agak sukar untuk nulis sedikit-sedikit. Dulu waktu jadi wartawan sih nulis sedikit yang penting berisi, ya bisa. Tapi karena tidak diasah lagi, lama2 tumpul deh lugasnya saya. Hiks.. π
Saya punya beberapa cerpen tuh, Mas. Coba lihat di menu kanan atas: CerpeNina, trus klik deh. hehe.. selamat membaca. π
ikut menyimak ah
Silakan, Pak/Bu.. π
ikut menyimak, saya bukan pendukung siapa2 hanya melihat media berseliwerran isinya Saling hujat muak, orang cerdas jadi bodoh krn kepentingan hadeuuh. Pilpres skrng riweuh ga adem kaya sebelum2nya
Bener, Mbak Dewi. Asas LUBER Pemilu sudah bener2 hilang. Dulu itu kita sama sekali ngga tau siapa milih siapa. Sekarang, beneran ngga ada filternya sama sekali ya.. miris.
Terima kasih sudah mampir, Mbakyu.. π
Ikut komen mba, sy ga nyoblos bukan blm punya KTP mba, krn UU yg mengharuskan sy netral, buat sy siapapun presidennya nanti, hrs bisa mewujudkan janji2nya, janji hrs ditepati bukan untuk diingkari, minimal bisakah presiden terpilih mensejahterakan rakyatnya dgn tdk menaikan BBM (janji para capres)???? pedahal skrng baru semester I sj APBN sudah 4 kali direvisi krn defisit, pedahal ada janji salah satu capres yg sulit diwujudkan dan sy yakin janji itu hanya asbun sj, tdk memahami apakah janjinya itu hanya membohongi rakyat semata. Banyak rakyat kelas bawah yg sangat besar menaruh harapannya kepada salah satu capres, yang sy kwatirkan harapan itu tdk bisa diwujudkan dan rakyat kecewa, yg membuat suasana berbalik???? Akhirnya akan menjadi tambahan buat kami….
Aamiin semoga yang diharapkan masyarakat bisa kesampaian yaa..
Sebenarnya, Pak Firdaus, untuk mengubah kebijakan pemerintahan itu ngga cukup hanya presiden saja. Harus seluruh unsur pemerintahan bekerja barengan bersama-sama: Yudikatif (kehakiman dan urusan dengan penegakan hukum), legislatif (DPR/MPR), eksekutif (presiden). Presiden “hanya” salah satu gerigi dari roda besar yang namanya Indonesia itu..
Hanya saja, betul, Pak, kita butuh eksekutif (presiden) yang tegas agar bisa berdebat (demi menyampaikan amanat rakyat) nanti di sidang paripurna bersama DPR. Presiden yang lemah malah akan diinjak-injak aja.. ngeri itu.. π
Sabar ya, Pak. Kita berdoa, semoga presiden terpilih nanti adalah orang yang amanah. aamiin..
kesampingkan semua agenda politik dan segala bahasan tingkat tinggi. Tetapi pertanyaan saya tetap kepada pelanggaran HAM, sampai kapan semua pelanggaran dianulir hanya karena mereka punya “jalan”. Jalani dulu persidangan dan buktikan bahwa itu tidak terjadi. Saya pernah kerja ke-PR-an, saya paham bagaimana PR bekerja untuk membuat hitam jadi putih dan sebaliknya, selama ada material baik. Tidak semua manusia jahat mutlak dan sebaliknya. Material yang baik diolah dengan PR yang handal tentu akan spt permata yang siap diasah hingga menjadi mengkilat.
Kejadian emosional dari no 1 itu sudah banyak saksinya (kenal dgn saksi hidup dlm tindakan ini, bukan sekedar katanya)…menurut saya, sebagai kepala keluarga (calon) segala emosi harusnya bisa dikontrol dengan baik. Karena setiap anak (rakyat) pasti mempunyai karakter berbeda…tp dari sekian anak tentunya ada yang kerjanya hanya membebek. Ini yang kemudian dikalikan dengan angka yang lebih besar…
Dalam sebuah percakapan sederhana, adik saya membuka dengan “kasian juga ya dia diserang bertubi-tubi sama kita semua”. Lalu jawaban saya adalah seperti ini “Kalau saja dulu dia tidak menghindar untuk diserang bertubi-tubi dengan melarikan diri ke luar negri mungkin tingkat tekanan serangan tidak akan seperti ini. Hukum karma itu bukan dongeng. Seharusnya dulu dia mengalami hal ini karena tingkah tdk disipilinnya sebagai ….tapi dia punya uang untuk menghindari ini semua”. Kita ini aneh prihatin pada hal-hal sentimentil seperti “kasihan ya dia udah waktu perang …sensor… trus cerai dan punya ..sensor..jatuh bangun akhirnya bangkit” berdasarkan itu semua, sebagian dari kita lupa…..bahwa dia harus menjalani apa yang sudah dilakukannya.
Iklan duduk bareng sama petani dengan senyum diumbar lantas kita lupa dengan apa yang sudah terjadi. Seandainya ada calon lain…mungkin tulisan saya ini terlihat netral. Tetapi realitanya ya tidak ada….Ini semua masalah kemampuan. Kalo kamu nabrak orang dan membunuh 50 orang, tetapi kamu anak seseorang dan punya uang yang tidak habis-habis….orang tua dan keluarga pasti akan berjuang supaya kamu bisa diselamatkan dari penderitaan dan malu. Balas dendam satu-satunya hanya dengan reputasi baik…entah ya, saya tidak melihat bahwa orang yang sekian tahun (masa saya kuliah) digambarkan temperamen berat ….berubah. Saya masih melihat dia yang dulu walaupun secara semena-mena tentu sekarang tidak bisa seperti dulu. Ah entahlah….
Terima kasih atas sharing pendapatnya, rekan Poetic.
Bicara HAM, bicara temperamen, bicara masa lalu, kalau menurut saya pribadi, Prabowo sudah membayar lunas apapun dosa masa lalunya dengan gentleman. Kenapa saya bilang gentleman? Karena beliau cukup mampu menahan diri tidak berbalik menyerang pihak yang mau menghancurkannya. Cara berpikir orang yang mengenyam pendidikan militer pastinya berbeda dgn kita yang sipil. Saya berasal dari keluarga besar militer, misalnya, dididiknya berbeda dgn tetangga saya sekarang bukan keluarga militer. Itu baru level didikan keluarga, apalagi orang bersangkutan? (Org militer dan org sipil)
Bicara “dia punya uang”–saya cuma bisa nyengir. Jangan dilihat harta benda yg dia miliki sebagai faktor x yg bisa memvalidasi judgement publik lah. “Menyerang” dari sisi harta amatlah tidak fair. Sama seperti mempertanyakan kehendak Allah: Kenapa dia kaya dan saya tidak?
Sebelum saya melantur lebih jauh, izinkan saya mengingatkan bahwa manusia bisa berubah. Dalam hal ini berubah jadi lebih baik. Hijrah. Ketika ada orang sudah menjalani hidupnya yang sudah berubah, apakah kita masih berhak mengungkit dosa masa lalunya? Bukankah kesalahan itu ada utk diperbaiki? Dan yang membedakan orang tu hebat atau tidak kan soal bagaimana dia berubah setelah belajar dari kesalahannya. Kita yang level kenegarawanannya masih seuprit aja selalu berusaha jadi org yg lebih baik setiap harinya kok, apalagi dia yg memang dididik dan mendidik dirinya sendiri untuk bisa jadi negarawan besar?
Kalau kita yg levelnya masih tingkat basis aja seringkali minta diberi kesempatan untuk bisa berkontribusi buat pembangunan di lingkungan kita–sambil berharap dosa2 masa lalu kita dimaafkan oleh Pak RT dan warga–apalagi dia yang levelnya nasional? Give him a chance and I am 100% have faith on him that he won’t betray us. The rest is up to Allah.
Dear Nina,
Coba baca dgn baik. Saya tdk.judge org melalui harta. Tetapi itu yg terjadi…silahkan browsing setelah bapak itu dipecat (dgn hormat??) Dia lgs ke Yordania dan kembali dgn team PR yg terkenal mmg canggih.
Sempit atau luas harta adalah faktor X org bisa lolos dr apapun itu. Itu normal jika keluarga menginginkan sanak saudaranya kalau bisa lolos dr jeratan hukuman. Banyak kasus lah di negri kita soal ini….pls jgn bilang tidak ada.
Bersikap gentleman bukanlah balesan utk segala apa yg dia lakukan. Let say dia memang diperintah utk menculik dan me me yang lain. Orang diperintah dan yang menjalankan itu yg akan menanggung dosa. Kalau saja waktu itu gentleman-nya sudah ada….tentunya kita bisa bilang impas. La wong dia pergi ke Yordania dan balik-balik jd pahlawan karena PR campaign beberapa iklan kok. Bagian mana dia sudah membayar lunas?
Apapun yang saya katakan, tentunya Nina akan membalas sampai titik pembelaan terbaik. Jadi kita sudahi dulu. Tulisanmu diatas awalnya cukup apik tapi tanggapan utk komentarku ini hmmm agak kurang tepat. Tetapi bisa paham….spt yg aku bilang ke ibuku sendiri, susah utk memberi perspektif kepada orang yang jatuh cinta. Apalagi kalau yang bersangkutan belum pernah merasakan peluru nyasar 2 cmn dari kita bersembunyi. Atau bahkan melihat mulut teman dimasukkan pistol karena bertanya kritis (bukan menghina). Seandainya bapak itu menang, semoga penasehatnya mampu membawa perspektif positif dalam posisinya. Terua terang cara dia berkomunikasi membuat saya merasa terancam daripada terlindungi. Tapi saya mungkin saja salah…..karena kalau saya benar. Kita semua harus berdoa untuk kebaikan satu sama lain.
—-cheers untuk yang terbaik!—-
Hahahaha.. ya, ya, ya.. terima kasih sudah mengingatkan. Saya ngga jatuh cinta sama dia. Saya hanya setuju dgn visi-misinya dan saya dukung visi-misi tsb. Saya meyakini dia krn saya menilai dia mampu mengemban visi-misi tsb. Saya bukan Timsesnya, pu bukan tipe simpatisan yg fanatik. Komentar saya tadi juga ngga diniatkan utk membela dengan buta juga. Saya hanya memberi penjelasan mengenai pandangan saya soal ini. Soal perbedaan cara berpikir militer dan sipil.
Mengenai masalah hartanya, mungkin kalimat saya terkesan subjektif. Maklum, sudah terlalu banyak orang kita yg cara berpikirnya diletakkan ke sana. Dijadikan tolok ukur bahwa org kaya selalu lolos, walaupun pada kenyataannya demikian di negara ini. Hehehe.. tapi intinya, pada kenyataannya siapa sih yg tau persis apakah benar itu yg terjadi (bhw dia melarikan diri berkat uangnya) ataukah kita sendiri hanya tau berdasarkan informasi yg dibaca di media? π
Tapi betul juga sih kalau dibilang percuma mendebat org yg “jatuh cinta”–mengutip ucapan Anda. Kalau dlm versi saya kalimatnya, “Percuma mendebat/berdebat orang yg sudah lebih dulu punya asumsi di kepalanya.” Saya lebih menghargai perdebatan antara dua pihak yang “mengosongkan cangkirnya, sehingga masih bisa menampung tumpahan air dari teko.” π
Thank for visiting yaa.. look forward to have more discussions with you.
tadinya aku juga dukung JKW.. tapi akhirnya beralih ke PS, alasan nya kurang lebih sama seperti alasan kakak.. π
Aiiiih Kak Ido.. π
Yaaa begitulah, Kak.. Sebenarnya kalau simpatisannya Jkw seadem simpatisan Prabowo, mungkin aku masih tetep pro Jokowi. Tapi sepandai2nya tupai melompat, dia tetep aja tupai… *ehh?? #salahfokus. Hehehehehe..
Asli mantap paparannya mba Nina.. Dan asli sama dgn yg saya rasakan saat itu dan saat ini, sy dl jg pernah SANGAT simpatik dgn Jokowi, tp lama kelamaan sy melihat kok jd spt ini nih orgnya, awalnya blg ttp akan mengemban tugas sbg Gubernur DKI pd saat ada wacana beliau akan dicalonkan jd presiden (jika memang msh sbg DKI 1 sy mgkn msh simpatik dan respect thd beliau), tp kenyataannya yaa spt itulah, hilang smua rasa itu, ditambah lg dgn ulah para simpatisan dan timses serta media yg mendukung Jokowi yg selalu mendiskreditkan dan berusaha utk membunuh karakter Prabowo, dan Jokowi sm skali tdk ada niat utk meredam itu smua, tambah hilanglah smua “rasa” itu… Smoga yg terbaik yg diizinkan Allah utk memimpin negara ini, aamiin… Good luck mba Nina dan lanjutkan pencerahannya yg super ini.. π
Aamiin.. terima kasih, Mas Arif. Betul, Mas, di antaranya yang membuat simpati saya thd Capres #2 itu karena ia tidak tampak meredam pendukungnya agar tidak menghina lawan. Malah ketika terjadi serangan ke stasiun teve di Yogya, beliau malah bilang, “Jangan salahkan pendukung saya krn terprovokasi.” –lho kok? Masa sih ngga ada kata-kata yang lebih enak utk diungkapkan. Woooh sebenernya buanyaaak banget alasan kenapa sampai akhirnya saya pindah haluan. Tapi yo sudahlah, cukup yang saya ceritakan di sini saja. Hehehe..
Good luck juga buat Mas Arif. Semoga selalu dalam lindungan dan berkah Allah, SWT. Aamiin..
Interesting! Salam dari Leiden π
Waaaa.. Leiden! Sempat bermaksud ambil master ke sana, tapi ngga dapat beasiswa karena batas usia saya sudah terlalu tua. Hahaha.. Thank you for visiting my blog. Hope I can visit Leiden someday.. π
Menarik membaca judul tulisan di atas, hal yang juga cocok untuk dijadikan judul cerita tentang bagaimana prabowo menolak bersalaman dengan Jokowi di belakang panggung (sebelum tampil dalam acara debat capres).
Namun, begitu di atas panggung, berusaha menunjukan kehangatan seorang calon ‘negarawan’
YANG TERLIHAT TAK SEPERTI KELIHATANNYA.
Dari koalisi yang ada, bagaimana prabowo harus ‘berterimakasih’ kepada partai” politik, atas dukungan mereka untuk mengusungnya jadi RI 1 ?
Saya pribadi sadar capres lainnya (jokowi) bukan manusia sempurna, mungkin ada ambisi atau niat di luar segala yang terliput media selama 9 tahun kiprah kepemimpinannya.
Namun, untuk PILPRES kali ini, di mana kandidatnya hanya 2, pilihan buat masyarakat menjadi dipermudah.
Masyarakat cuma punya 2 pilihan :
Prabowo, yang pernah ada di lingkaran dalam Orde Baru, ATAU
Jokowi, yang baru saja terdengar prestasinya (akibat media mempublikasikannya segencar itu)
Hasil sementara langsung terlihat hari itu juga (9 Juli) dari beberapa lembaga survey (yang kredibilitasnya sudah teruji)
Trims buat kesempatan membaca tulisan di atas dan mengomentarinya.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Sekedar info tambahan :
Koalisi Merah Putih di malam sebelum PILPRES, sudah mengubah RUU MD3 dalam upaya menguasai parlemen
(Entah mereka terdiri dari paranormal atau paranoid, yang bisa memprediksi hasil PILPRES)
Terjadi banyak formulir C1 yang salah angka dalam proses rekapitulasi hasil PilPres, ini didapati di berbagai daerah. Semoga pemerintah sekarang (yang masa jabatannya tinggal hitungan hari) tidak sedang menghalalkan segala cara untuk menunjukan dukungan kepada salah satu kandidat yang sedang harap” cemas menunggu KPU mengumumkan hasil resmi tgl 22 Juli
Terima kasih sudah mampir dan mengemukakan opininya, Pak.
Boleh saya tanya, apa Bapak sudah membaca artikel saya secara keseluruhan? π Kalau sudah, pastinya Bapak ngeh dong bahwa FENOMENA Capres dan Capresisme (Fanatisme Capres, saya menyebutnya Capresisme) itu HANYA SEBAGAI INSPIRASI tulisan di atas? Jadi tulisan ini BUKAN soal Capres. Hanya pemicu, tapi bukan inti tulisan. Inti tulisan saya tetap, apa yang terlihat tidak seperti kelihatannya… π
Anyways, Pak Teja tampaknya mengetahui persis kejadian di belakang layar ya? π Apa Bapak juga mengetahui apa yang ada di pikiran Pak Prabowo kenapa dia sampai batal bersalaman dengan Jokowi?
Saya ngga melihat apa yang terjadi di belakang layar. Tapi kalau saya tidak bersalaman dengan kawan saya yang baru datang ke suatu pertemuan, pastinya ada dua hal: Pertama, saya sedang sibuk berpikir, atau sibuk berbincang dengan kawan lain, sehingga luput mengenali kawan saya sendiri. Kedua, saya tidak melihat kawan saya datang. Giliran melihat, mau saya samperin eh acaranya sudah keburu mulai. Urung deh. Dan untunglah saya bukan Capres, sehingga “kelalaian” seperti itu tidak jadi polemik dan tidak dipolitisir. π
Soal RUU MD3, apakah Pak Teja tahu, RUU bukanlah UU? π RUU itu masih bisa diubah, Pak. Kita lihat saja nanti bagaimana kebijaksanaan DPR/MPR soal ini.
Saya ngga berharap cemas menunggu keputusan KPU. Siapapun yang jadi Presiden RI kelak, pastinya adalah orang terbaik yang dipilih Rakyat Indonesia. Dan siapapun dia, Prabowo atau Jokowi, saya sih pasti dukung dan tidak makar. Sesederhana itu kok.. Satu hal lagi, jangan terlalu sinis sama pemerintah. Seburuk-buruknya pemerintah, mereka pemerintah negeri ini. Kalau mereka salah, ingatkan dengan cara elegan. Gimana, Pak? π
Tulisan yang bagus, cukup untuk tahu dan menilai mayoritas pendukung Prabowo Non Partai.
Saya adalah salah satu pendukung Prabowo Subianto di pemilu presiden 9 juli yg lalu, padahal pada awalnya saya adalah pengagum berat Bp. Joko Widodo yang saat itu sedang mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kesederhanaan dan Karakter beliau waktu itu sungguh membuat saya selalu memberikan opini bahwa Joko Widodo adalah “pejabat langka” yang biasa tampil dan berbicara dengan kharisma memukau. Pada saat itu beliau benar-benar menjadi Pembeda diantara sekian banyak pejabat negara.
Sikap sangat hormat dan ketaatannya pada partai beserta pimpinannya pada waktu itu justru menjadi nilai tambah menurut saya dalam pencalonan dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta dikarenakan lingkup kekuasaan di Tingkat Provinsi memang masih membutuhkan bimbingan politik dari Elit Partai ataupun juga Pemegang Kebijakan di tingkat yang lebih tinggi. Beliau benar-benar menjadi ksatria baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Setelah beliau dideklarasikan menjadi Capres, menurut saya, mendadak banyak sekali yang “hilang” dari Bp. Joko Widodo terutama sikap santun dan pasrahnya. Saya pada awal kepemimpinan beliau di DKI sangat berharap kelak Jokowi dapat diangkat menjadi pemimpin oleh kekuatan rakyat tanpa Pencalonan pribadi terlebih ambisi politik menjadi presiden seperti yang akhir-akhir ini beliau tunjukkan kepada Masyarakat dan pendukungnya. Jujur saja, “Kekuatan” beliau bukanlah terletak di ilmu ataupun wawasan kebangsaan, beliau berbeda dengan Soekarno yang wawasan kebangsaan dan pandangan-pandangannya sangat tajam dan bisa menjadi Rujukan Pemimpin Negara lain. Jika kesantunan dan rasa pasrahnya dihilangkan, menurut saya Jokowi bukan lagi seorang pembeda dan beliau tak ubahnya seperti mayoritas pejabat negara di Indonesia, dan menurut saya beliau bukanlah seorang yang “Kompetitif” di bursa Capres tanpa Sikap santun dan rasa pasrahnya tersebut.
Karena Itulah lantas saya lebih memilih mendukung Bapak Prabowo Subianto untuk menjadi RI1 dan doa saya pribadi semoga Bp. Prabowo bisa meneladani Bp. Jokowi seperti sebelum pencalonannya yaitu bersikap lebih santun dan lebih menekan ambisi pribadi. Prabowo Subianto adalah seorang Negarawan, berwawasan luas dan pandangan-pandangannya sangat tajam, sosok yang lebih pantas menjadi Presiden di 2014 ini.
Salam.
Wow… Review yang sangat apik, Pak Surya..
Saya sampai membutuhkan waktu sehari untuk memikirkan apa kira-kira kalimat yang tepat dan sesuai untuk menanggapi ungkapan luar biasa dari Bapak ini.. π
Yang kita rasakan tentang Jokowi sama persis, Pak. Saya juga menangkap kesan ketidaksiapan dari pribadi Pak Jokowi. Walau saya masih yakin dengan kualitas kesantunan dan ketekunan mau bekerja keras dari beliau, tapi dalam Pilpres ini memang terasa ada sesuatu yang hilang. Saya tidak bilang beliau berubah, tapi betul-betul terlihat kalau beliau sebenarnya tidak siap, bahkan cenderung agak gentar. Bukan karena Prabowo (sang “guru”) adalah lawannya, tapi karena Pak Jokowi paham kapasitas diri. Toh memang betul, dia dicalonkan, bukan mencalonkan diri.
Jika sebelumnya beliau bicara, “Saya ngga mikir copras-capres, copras-capres, ngurus Jakarta saja sudah pusing…” ini, menurut saya, justru merupakan kejujuran dia dari dasar hati. Tapi karena PDI-P mendesak dia untuk maju, dan dia harus manut pada partai yang membesarkannya, ya sudah “nekat” maju.
Dalam semua Debat Capres, terlihat sekali bahwa beliau tidak siap secara politik-papan-atas. Berbeda dengan Prabowo yang memang sudah siap sejak dulu–kecuali pada debat terakhir, dimana Pak Prabowo tampak tertekan dan terganggu akan sesuatu. Kalau boleh saya katakan, Pak Jokowi seakan jadi (maaf) “Capres Karbitan”. Dipaksa jadi Capres dan dia tidak boleh menolak. Saya pribadi ngga percaya dengan tudingan bahwa Jokowi itu munafik, kemarin ngomong A, sekarang ngomong B. Karena buat orang yang paham politik, BEGITULAH POLITIK. Pendapat pribadi hampir selalu harus diabaikan jika tidak sejalan dengan pendapat partai. Inilah yang membuat Jokowi jadi terkesan mencla-mencle di mata orang awam. Dia masih terkaget-kaget dengan permainan politik level kepresidenan. Intinya: sebenarnya Jokowi belum siap.
Sedangkan Prabowo sudah siap. Visinya solid dan dia mampu memengaruhi pendapat partainya. Jenis pemimpin yang powerful, dan Indonesia butuh pemimpin yang kuat. Apapun komentar orang mengenai Prabowo, bahwa dia inilah itulah, tetap saja, dia disegani oleh pemimpin negeri lain. Jujur, kalau mau Indonesia maju, pemimpinnya memang harus powerful, keras dan semi otoriter jika perlu. Karena politik di negara kita ini sudah kebablasan pasca reformasi! Bener-bener dehhh! Harus diluruskan, harus dikembalikan ke rel-nya, dan hanya Prabowo yang bisa melakukan itu. Keras, tapi dia punya empati yang besar.
However, siapapun nanti yang menang, Jokowi atau Prabowo, kita harus tetap 100% mendukung presiden terpilih ya, Pak? π
Dan terima kasih atas opini luar biasanya. Sangat saya hargai dan betul-betul indah untuk dibaca. π Matur suwun sanget…
Sama-sama Bu/Mba Nina, dan btw akhirnya harus kita terima keputusan Rakyat dengan selapang-lapangnya.hehe.
Pak Surya.. alhamdulillah, artinya proses demokrasi telah ditunaikan, meski banyak “warnanya”.
Berikutnya kita dukung pemerintahan Indonesia dengan pemimpin barunya. Bisa sebagai kawan ataupun sebagai “lawan”. Yang penting, meski sebagai lawan, orientasinya adalah menjadi pengingat bagi pemimpin baru kita. Bukan utk menjatuhkan apalagi mengkudeta. Hehehe..
Semangat selalu ya, Pak Surya! π
Ketika saya baca buku novel, saya banyak berimajinasi. Ketika saya baca buku sejarah, saya banyak mengetahui. Buku mana yg banyak mba nina baca untuk membuat tulisan opini diatas? menurut saya buku novel (isinya opini dan imajinasi). salam.
Terima kasih atas pendapatnya, Bung Angga. Sepertinya Anda juga rajin membaca buku filosofi, sehingga Anda merasa bebas berasumsi tentang orang lain padahal Anda tidak mengenal mereka. π
Anda juga tidak mengenal saya untuk bisa menghakimi saya. Tapi namanya pendapat, ya sah-sah saja. Dan tampaknya saya ngga perlu menjawab, karena Anda sudah punya jawaban sendiri kan? Terima kasih sudah mampir ke blog saya ini. I appreciate it.
mbak nina cantik :), nyimak ya
Alhamdulillah dibilang cantik.. Terima kasih, tapi semua pujian adalah milik Allah. Monggo, selamat menyimak. π
Terima kasih sudah mampir yaa.. π