[CerpeNina] The Promise, part 3

pink-promise-hands-bond
Pinky swear by http://www.layoutsparks.com/pictures/

“Benar, kamu anaknya Mia?” Gusti mengulangi kalimatnya. Remaja di hadapannya masih menatap dengan tajam. Namun sedetik kemudian senyum terkembang di wajah cantiknya.

“Haha.. Nggak salah memang Mama bilang, Om ini sangat jeli dan cerdas,” cetus Rayya, seraya melanjutkan tawa renyahnya. Jemarinya kembali mengaduk teh chrysant di cangkir.

“Jadi betul?” kejar Gusti.

“Yep. Betul. Mama saya bernama Mia,” Rayya menjawab santai. Matanya kemudian mengerling, seakan mengharapkan reaksi lebih lanjut dari Gusti. Yang diperhatikan, hanya menghela nafas.

Gusti menyandarkan badannya ke sandaran sofa. Matanya terus menatap Rayya. Anak ini sungguh mirip Mia. Terutama kerlingan nakalnya. Sedangkan sikap acuhnya sangat mirip dirinya. Gusti ingin kembali memastikan analisisnya, menggali lebih banyak informasi tentang Rayya, tapi mau tak mau benaknya melayang kembali ke 15 tahun sebelumnya. Bayangan Mia yang sedang tersenyum, tertawa, serius, menangis, silih berganti mengunjungi pikirannya.

Sesungguhnya, yang paling dominan berada di dalam korteks memori Gusti adalah adegan mesra mereka dahulu. Begitu riil, seakan mengusapnya lembut. Tak sadar, rambut halus yang menutupi permukaan kulit Gusti mulai meremang, merinding. Ia masih ingat betul aroma kulit Mia, beningnya, hangatnya. Tetiba Gusti merindukannya amat sangat. Mia adalah cinta dalam hidupnya yang menghilang begitu saja. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan. Mungkin anak inilah alasan Mia pergi dari hari-hari Gusti. Namun…

“…Kenapa?”

“Bagaimana, Om?” Rayya mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati Gusti. Ia tak mengerti pertanyaan tadi.

“Tapi kenapa? Kenapa mamamu tidak pernah bilang kepada saya?” Gusti menahan getir yang menyeruak ke tenggorokan. Nyaris tertumpah keluar dari sepasang matanya. Gusti masih menahan diri.

Mendengar itu, Rayya menarik nafas panjang. Selama sekian menit, mereka membisu. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Kepala Gusti penuh dengan skenario-skenario yang memungkinkan. Ia yakin sudah cukup baik mengenal Mia. Tak hanya itu, ia juga sangat memercayainya. Jadi ia tak habis pikir, masalah sepenting ini bisa disembunyikan oleh Mia, perempuan yang begitu kuat menanamkan cintanya di dalam relung hati Gusti.

“Mama merasa kehadiran saya dalam hidup Om akan merusak keharmonisan keluarga Om,” jawab Rayya akhirnya. Gusti menelan saliva yang sejak tadi serasa hampir mencekik jalan nafasnya.

“Itu alasan absurd,” ketusnya, setengah membentak. “Maaf.. saya tidak bermaksud berteriak,” ujar Gusti cepat, menyadari Rayya terkejut dengan reaksi tadi.

Nyantai aja dong, Om,” Rayya memanyunkan mulutnya, alis bertaut tajam, sinar mata kesal. Lagi-lagi Gusti merasa tercekat melihat gadis di hadapannya itu. Ekspresi yang sama dengan Mia kalau sedang merasa jengkel.

“Mamamu menceritakan itu semua?” tanya Gusti, sambil berdeham. Tenggorokannya jadi kering.

Yang ditanyai hanya mengangkat bahu, acuh, “Ya ngga mungkin kan kalau saya menebak-nebak aja, Om? Jelas Mama yang cerita.”

“Apa lagi yang mamamu ceritakan?” Gusti bertanya lagi, seraya menenangkan dirinya.

“Mama cerita, Om sudah berkeluarga. Makanya waktu Mama tahu sedang mengandung saya, Mama tidak bisa menceritakannya kepada Om. Mama terlalu mencintai Om untuk membebani Om dengan anak di luar nikah,” tutur Rayya.

Gusti memandangi Rayya. Anak ini bercerita ringan saja. Sekuat apakah mentalnya? Ia menyadari dirinya anak yang terlahir di luar pernikahan, tapi

Lalu sekarang di mana mamamu?”

“Mama…” Rayya mendadak membeku. Wajahnya mengeras. “Mama ngga ada..”

Ucapan Rayya memang pelan, tapi telinga Gusti terasa meledak, “Maksud kamu? Ngga ada?”

“Ya ngga ada.. Sudah ngga ada,” jawab Rayya, emosional. Ia mengatupkan mulutnya kuat-kuat.

“Ngga ada? Maksudnya……? Ya Tuhan….” Kepala Gusti tetiba kembali terserang vertigo luar biasa, sampai ia merasa mual. Hatinya terasa amat sangat sakit.

Ia pernah kehilangan Mia, tapi tidak pernah terbayangkan kehilangan yang seperti ini. Padahal, untuk sesaat tadi, meski shock, Gusti sempat merasa senang bisa menemukan kembali jejak Mia. Bahkan, ia berharap dapat bertemu lagi dengan Mia. Banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab. Termasuk kenapa Mia meninggalkannya.

Bukankah mereka pernah berjanji untuk tidak saling meninggalkan? Bukankah mereka memang pernah saling mengatakan ingin memiliki anak bersama-sama? Bukankan mereka pernah membayangkan betapa luar biasanya kelak anak mereka, karena memiliki ayah yang cerdas dan gagah serta ibu yang juga cerdas dan cantik?

Pilu, mata Gusti memandang Rayya. Gadis remaja itu tampak berjuang menahan emosi. Kedua tangan kecilnya memegang gelas erat-erat. Mulutnya mengatup dan wajahnya memerah dengan urat kecil menyembul di dahi. Tanda orang yang berwatak keras, sama seperti dirinya.

Gusti memejamkan mata. Terbayang olehnya wajah Mia. Wajah yang selalu menghuni pikiran dan hati Gusti. Yang selalu dicintainya. Entah bagaimana wajah Mia setelah 15 tahun. Gusti yakin, Mia pasti tetap cantik. Namun, kini ia tidak akan pernah mengetahuinya. Ia bahkan tak akan lagi berkesempatan melihatnya, apalagi memeluknya. Karena, seperti Rayya katakan, Mia sudah tak ada…

To be continued.

Cerita sebelumnya:

 

2 Comments Add yours

  1. Cerpen-cerpen yg penuh kejutan, suspen yang kuat… mengingatkan saya pada cerpen-cerpen Sirikat Syah. pada kumcernya Pada cerpen Perempuan Suamiku, atau Wanita Kedua yang menjadi andalan kumcer Harga Perempuan! cerpen-cerpen yang pasti akan NAGIH dan bikin fly pembacanya….

    1. Hehehehe.. thank you, Mas. ^_^

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.