[CerpeNina] The Promise, part 2

“Nama saya Rayya, dan saya adalah anak kandung Om Gusti..”

Kalimat yang diucapkan gadis di hadapan Gusti itu memang singkat, tapi efeknya bagai sengatan setrum 39,8 megawatt. Apa? Anak kandung? Yang benar saja? Kapan Gusti menghamili ibunya? Siapa ibunya? Serius? Berapa usia anak ini?

Ratusan, bahkan ribuan pertanyaan membombardir pikiran Gusti. Ia mendadak limbung. Kepalanya pusing berat. Vertigo yang sudah lama tidak kambuh, terasa menyerang lagi. Segera, ia berpegangan pada ujung meja. Kepalanya tertunduk, tangan kirinya bertengger di dahi, menahan nyeri amat sangat yang tetiba memberati kepalanya.

“Om baik-baik saja?”

Gusti agak terkejut dengan kesigapan Rayya menangkap bahunya. Postur gadis itu memang tinggi besar, hampir menyamai tinggi badan Gusti. Namun kenyataan bahwa Rayya tampaknya cekatan dan kuat, mau tak mau membuat Gusti kaget. Sejujurnya, cukup terkesan.

“Maaf kalau kalimat saya tadi membuat Om Gusti merasa shock,” ujar Rayya. Gusti menilai, gadis ini memang memperlihatkan rasa simpati, tapi nada suaranya tidak terdengar benar-benar menyesal. Ada suatu ketegasan yang mengesankan dari gadis ini, Gusti mengakuinya.

“Iya, saya memang kaget. Jujur, saya shock..” Gusti memutuskan untuk duduk.

“Ini, silakan minum, Om. Ini teh chrysant, mumpung masih hangat. Bisa membuat tubuh lebih rileks dan pikiran tenang. Saya sengaja memesannya duluan sambil menunggu kedatangan Om. Saya sudah perkirakan reaksi Om akan seperti ini,” kata Rayya sambil menuangkan teh ke cangkir berbahan tanah liat. Tanpa tumpah, cangkir pun segera berisi penuh. Rayya menyodorkannya ke hadapan Gusti.

“Diminum, Om.” Nadanya tegas. Berkesan agak mendesak.

“Iya, terima kasih..” Gusti tertegun. Gadis ini agak mengingatkannya kepada seseorang: dirinya sendiri.

“Sekali lagi, terima kasih sudah bersedia datang, Om Gusti. Saya memberanikan diri menghubungi Om dan saya yakin Om pasti datang. Mama pernah bilang, Om orang baik dan punya perhitungan matang,” Rayya berceloteh sambil kembali menuangkan teh chrysant ke cangkirnya sendiri dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya meraih gula cair beraroma lemon yang tadi bertengger manis di sebelah kiri teko.

Gusti memerhatikan gerak-gerik Rayya. Mudah untuk menilai kalau gadis ini multitasking. Mengerjakan 2-3 pekerjaan sekaligus, dalam satu waktu. Bersikap efisien. Ini mengingatkannya kepada satu perempuan yang pernah singgah dalam hidupnya. Namun, Gusti belum berani memastikan apa Rayya adalah anak dari perempuan tersebut.

“Alhamdulillah sepertinya mama saya memang tidak salah menilai Om. Hanya saja, sepertinya mama salah memercayai Om sebagai orang yang bertanggung jawab,” ada senyum sinis di wajah Rayya. Membuat Gusti tertegun. Senyum itu sangat mirip dengan senyum Gusti sendiri. Bisa jadi gadis ini memang anaknya.

“Tunggu dulu…”

“Maaf, bukannya saya bermaksud kurang ajar ya, Om. Itu hanya pendapat saya pribadi. Makanya saya mengundang Om ke sini untuk membuktikan, mama saya benar atau salah. Mama ngotot kalau Om adalah orang baik. Kata mama, Om punya mata yang baik,” jemari Rayya berhenti mengaduk. Wajahnya mendongak dan memandang cermat mata Gusti. Dipandangi tajam begitu, Gusti tertegun.

“Oke, untuk yang itu sepertinya saya sepakat dengan mama. Mata Om itu mata orang baik,” dengan tenang Rayya kembali mengaduk tehnya.

Sikap spontan dan bawel seperti itu lagi-lagi mengingatkan Gusti kepada sang “perempuan”. Tapi apa betul Rayya anaknya? Anak mereka? Banyak sekali yang ingin Gusti tanyakan, sementara Rayya terus berkicau, semakin mengingatkannya kepada sang “perempuan”.

“Oke, Rayya, berapa usiamu?” Gusti akhirnya menyela ucapan Rayya.

“Saya empat belas,” jawab Rayya cepat, “Saya akan masuk universitas tahun ini. Beasiswa.”

Gusti tercengang. Usia 14 sudah kuliah? Beasiswa pula?

“Om heran?” Rayya tertawa, “Saya sudah biasa melihat reaksi seperti itu.”

“Bukan heran. Kagum, tepatnya. Kamu sangat cerdas,” ujar Gusti jujur.

“I.Q. saya 168. Orang bilang saya jenius. Mama bilang saya luar biasa bandelnya,” Rayya terkekeh.

“Orang cerdas biasanya nyentrik dan beda. Kadang orang lain menganggap itu sebagai kenakalan,” kata Gusti, tulus.

“Exactly! Right?” Rayya merentangkan tangan kanan, telapak tangan menghadap ke dalam dan menggerakkannya ke bawah, tanda setuju.

Pandai berbahasa Inggris, Gusti semakin yakin siapa ibu dari anak ini. Namun, ia tetap harus bertanya.

“Kamu… anaknya Mia?”

Kali ini Rayya yang tertegun. Cepat, ia menatap tajam mata Gusti.

To be continued..

image

Cerita sebelumnya:


6 responses to “[CerpeNina] The Promise, part 2”

  1. Athe' Lathief Avatar

    kereeen…hua selalu pengen bisa nulis dari 3rd POV

    1. Nina Firstavina Avatar

      hehehehe.. ayo dicoba.. 😉
      Malah lebih mudah memainkan emosinya, karena dalam hal ini kita jadi lebih netral, tidak memihak tokohnya.

  2. [CerpeNina] The Promise, part 3 | Neferland in 39.8 Avatar

    […] ← [CerpeNina] The Promise, part 2 Hiddleston’s Funny Moments → […]

  3. Among Kurnia Ebo Avatar

    cerpen-cerpen yg penuh kejutan, suspen yang kuat… mengingatkan saya pada cerpen-cerpen Sirikat Syah. pada kumcernya Pada cerpen Perempuan Suamiku, atau Wanita Kedua yang menjadi andalan kumcer Harga Perempuan! cerpen-cerpen yang pasti akan NAGIH dan bikin fly pembacanya….

    1. Among Kurnia Ebo Avatar

      erpen-cerpen yg penuh kejutan, suspen yang kuat… mengingatkan saya pada cerpen-cerpen Sirikat Syah. Pada cerpen Perempuan Suamiku, atau Wanita Kedua yang menjadi andalan kumcernya: Harga Perempuan! cerpen-cerpen yang pasti akan NAGIH dan bikin fly pembacanya….

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: