Bursa Karbon dan Mangrove

Pagi ini baca diskusi di grup kantor Program Kotaku; Kota Tanpa Kumuh atau National Slum Upgrading Program (NSUP). Sebelum ke sana, izinkan saya menjelaskan, Program Kotaku sudah selesai akhir Juni 2023 lalu, Tim Konsultan Manajemen Pusat (KMP) Kotaku masih tetap mengaktifkan grup WA sebagai ajang penyambung silaturahmi, sekaligus sharing lowongan pekerjaan. I teamed up with good people, indeed. Biasanya kalau kegiatan/project selesai, ya selesai pula komunikasi kita, but not my team mates.

Anyway, sebenarnya isu yang dilemparkan teman-teman (eks) tim saya selalu menarik, meski kita sudah tidak lagi satu kantor dan satu bidang pekerjaan. Tampaknya, tidak bisa dimungkiri, predikat tenaga ahli (TA) di dunia konsultan Indonesia memang beneran melekat dalam kepribadian personelnya, baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Lalu kenapa isu yang pagi ini dilontarkan menarik sampai saya mengangkatnya dalam tulisan ini? Karena berkaitan dengan “pembangunan hijau”. Selain isu tersebut sedang seksi di Indonesia akhir-akhir ini, saya pribadi juga condong mendukung go green agar tidak hanya sekadar slogan atau tagline.

Sayangnya, saya bukan insinyur lingkungan, atau urban planner, atau sipil, pun bukan arsitek. Saya sarjana ekonomi pembangunan yang kemudian “nyasar profesi” menjadi penulis, jurnalis, lalu berkembang jadi content creator–bahkan sebelum profesi content creator itu jadi sesuatu yang trending dan bisa diseriusi untuk mendatangkan cuan. 😂

Meski begitu, saya bersyukur “kenyasaran” ini malah menjadi suatu berkah (blessing in disguise) untuk saya pribadi. Saya jadi berkesempatan bertemu banyak orang cerdas dengan berbagai profesi dan keahlian. Saya mendapat kesempatan berbincang dengan mereka, serta belajar hal-hal yang lumayan teknis. Eh, mereka jago lho menjelaskan ilmu mereka ke orang awam seperti saya. Jadi mohon maaf kalau dalam tulisan ini masih tetap banyak kekurangannya, terutama dalam penjelasan teknis.

Intinya, saya masih (terus) belajar. Tapi lebih baik menyampaikan ilmu, meski sedikit, daripada dipendam sendiri, eh trus lupa. Hehehe.. Saya selalu open untuk diskusi dan koreksi, so, let’s get to it.

Image of Mangrove, courtesy of komitmeniklim.id

Diawali dari TA Urban Planner melemparkan berita tentang “Bursa Karbon” (sumber: https://www.cnbcindonesia.com/market/20230926065041-17-475480/bursa-karbon-meluncur-hari-ini-bank-asing-sudah-curi-start, dan https://katadata.co.id/syahrizalsidik/finansial/65125d62913ad/bursa-karbon-transaksikan-459910-ton-co2-ekuivalen-pada-debut-perdana).

Diskusi tersebut ternyata berujung pada topik penanaman mangrove. Seperti yang diungkapkan Sub TA Safeguard dalam komentarnya:

  • Provinsi yang sudah mendapatkan manfaat perdagangan (bursa) karbon dengan rehab mangrove adalah Kaltim (300 juta dolar) dan Jambi.
  • Upaya rehab mangrove di provinsi lain sedang berproses
  • Saat ini rehab mangrove banyak dilakukan di KAWASAN KONSERVASI – HUTAN LINDUNG. untuk masyarakat yang menanam mangrove pada Areal Penggunaan Lain (APL) atau non-kawasan konservasi–jika ada, selain mendapatkan manfaat perdagangan karbon juga mendapatkan insentif dari pemerintah.
  • Pendekatan rehab mangrove dengan pendekatan lansekap/satuan ekosistem mangrove (berikut masyarakat dan lingkungan sekitarnya)…bukan parsial
  • Paradigma: Rehab mangrove sebagai upaya mitigasi perubahan iklim yang sudah nyata di depan mata dampaknya berikut perlindungan ekosistem.. bukan demi cuan semata
  • Target Indonesia 600.000 Ha Mangrove . 1 Ha hutan mangrove setara dengan 1000 ton karbon.
  • Karbon hutan mangrove 4-5 kali lebih banyak dibanding hutan terestrial yang lain, baik dalam vegetasi maupun dalam substrat (dalam tanah)
  • Pentingnya rehab mangrove? Silakan googling sendiri😊🙏🏻
    SALAM LESTARI 🌳🌳

Lebih lanjut, ia mengatakan:

  • Tantangannya adalah menanam (mangrove) saat ini, karbonnya baru bisa dihitung 5-10 th. Suwiiiii (lama) banget.
  • Selain itu, karakter mangrove tidak spt tanaman lain.. kalau dipupuk yg joss, malah bisa jadi merusak tanah-substrat yg ada. Hasil riset internasional juga blm bisa menjawab ini.. Tapi peta jalan di Indonesia, pengalaman rehab mangrove paling cepat 4 tahun–inipun pada lokasi tertentu saja.
  • Mangrove (hanya) tumbuh di pesisir pantai, muara sungai, dan ada juga yang di rawa gambut.

Oke, dalam obrolan singkat itu, sudah bisa kita dapatkan poin-poinnya. Mari kita breakdown satu per satu. Saya akan membahasnya dalam tulisan-tulisan lain juga dan URL-nya akan saya trackback ke tulisan ini.

Silakan klik tautan di bawah (list akan terus diperbaharui):

  1. Kaltim Green

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.