“Our story was about whether Bush fulfilled his service. Nobody wants to talk about that. They wanna talk about fonts, and forgeries, and conspiracy theories, because that’s what people do these days if they don’t like a story. They point and scream. They question your politics, your objectivity. Hell, your basic humanity. And hope to God the truth gets lost in the scrum. And when it’s finally over, and they have kicked, and shouted so loud, we can’t even remember what the point was.”–Mary Mapes, eks produser 60 Minutes, on the CBS hearing panel. —> Ini salah satu adegan di film Truth (2015). Mary Mapes diperankan begitu cemerlang oleh Cate Blanchett.
Pekan lalu, seorang sahabat mengajak saya untuk mantengin beberapa film yang kaitannya dengan jurnalistik: Spotlight (2015), dan Truth (2015). Keduanya diangkat dari kisah nyata. Saya sempat tertawa kepada sahabat saya itu, “Hollywood kekurangan ide, jadi bikin filmnya dari kisah nyata.” Tapi, tentu saja, material film-nya sangat edukatif, setidaknya dari sisi jurnalistik. Bagaimana para jurnalis media berjuang melacak dan mengungkapkan fakta–catat, FAKTA. Bukan persepsi, apalagi opini–dan menyajikannya dengan lugas di media mereka.
courtesy of wikipedia.org
Spotlight adalah film tentang sepak terjang desk Investigasi di sebuah media cetak (Boston Globe), yang bercerita tentang laporan mereka atas “praktik” amoral 70 pastor terhadap altar boys di Boston, sejak tahun 80-an. Meski mendapat kecaman dari gereja (tepatnya, Boston Catholic Archdiocese: wilayah yang dikepalai oleh seorang Arch Bishop), dan tudingan SARA (karena Pemred-nya seorang Yahudi, jadi dianggap ada “hidden agenda”), tim investigasi ini tetap jalan terus.
However, Pemred-nya menegaskan bahwa ini bukan kisah tentang oknumnya saja, tapi soal sistem yang “melindungi” para oknum ini. Sistem yang harus diubah, karena korban-korbannya mengaku jadi disorientasi. Mereka merasa bersalah. Menolak pastor berarti menolak “titah Tuhan”. Di sisi lain, mereka tau bahwa ini molestasi. Amoral. Keimanan mereka terhadap Tuhan terkhianati.
Asli, kisah ini menarik banget. Terutama soal tudingan SARA-nya, yaitu ketika fakta dibenturkan pada “aturan” agama. Menonton film ini sangat tidak mudah. Plotnya cepat dan dialog-nya sangat cerdas. Buat yang tidak pernah berkecimpung di dunia jurnalisme, mungkin butuh 2-3 kali menonton ulang agar “ngeh”. Alhamdulillah, saya paham, karena pernah bertugas di desk Investigasi juga dulu di Harian Jakarta. Tentunya tidak sehebat Tim Spotlight-nya Boston Globe. Jauh. 😀 Tim Spotlight butuh berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan untuk menggodok sebuah berita. Eksklusif. Plus dukungan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dan perpustakaan (archiving)-nya yang hebat.
Cerita kedua, Truth. Bisa ditebak, ini cerita tentang “kejatuhan” 60 Minutes-nya CBS. Siapa jurnalis yang tak kenal Dan Rather. Kalau ngga kenal, berarti dia jurnalis yang ngga gaul. Hehehe.. Saya suka nonton 60 Minutes. Reportase mereka selalu “gila”. Kupas tuntas tanpa embel-embel. Hebatnya: no politics hidden agenda. Menurut saya, 60 Minutes adalah acara news “terakhir” yang tidak berpihak. Semata hanya membeberkan fakta buruk, meski dari presiden mereka sendiri.
Saya ingat merasa shock ketika Dan Rather menyatakan mundur dari 60 Minutes pada Maret 2005. Setelah itu 60 Minutes, menurut saya, kehilangan greget. Meski acara ini masih ada, tetap tidak lagi menggigit seperti zaman Dan Rather. Itulah kenapa saya tulis di atas dengan tanda kutip, “Kejatuhan”. Sejak dituding bahwa 60 Minutes memberitakan dokumen yang diindikasi palsu, CBS jadi sangat berhati-hati mengisi 60 Minutes. Terlalu berhati-hati, menurut saya.
Dan dialog di awal tulisan ini, menurut saya, berlaku untuk kondisi dunia kini. Masyarakat berubah “berisik” saat menanggapi suatu berita, sampai-sampai kita sama sekali lupa, berita itu sebenarnya tentang apa. Pas. Persis. 🙂
Penasaran dengan film-filmnya? Silakan ditonton aja ya. Gak ada di bioskop. Tapi mungkin di Ambassador ada DVD bajakannya. Hehehehe.. Jangan diikuti ajaran jelek dari saya soal bajakan ini, ya.. :p