Keuntungannya besar di dunia media dan dididik menjadi jurnalis lapangan adalah EGALITER. Kami melihat SIAPAPUN, KEDUDUKANNYA SETARA. Jadi, saya tidak pernah segan dengan SIAPAPUN meski dia presiden.
Oh ya, saya pernah jadi salah satu di antara sekian wartawan yang mewawancarai (door stop) dengan Presiden Megawati dan Presiden SBY di luar Istana. Hehehe… lumayan lah door stop sama presiden, pengalaman berharga. (Door stop adalah metode wawancara paling singkat dan level paling dasar. Sedangkan level tertinggi adalah wawancara eksklusif).
Apa waktu itu saya segan? Tidak. Hormat? HARUS. Siapapun wajib dihormati, meski dia gembel.
Ya, tentu, saya juga pernah wawancara dengan pemulung dan pemecah batu yang bekerja di pinggir jalan. Cara saya berbincang dengan mereka sama hormatnya seperti saya berbincang dengan para Perwira Tinggi (PATI) “melati” di Mabes Polri, atau JAM (Jaksa Agung Muda) di Kejaksaan Agung, atau para anggota DPR/MPR di Nusantara III. Yang beda hanya bahasa yang saya gunakan. Bahasa sederhana, atau bahasa diplomatis.
Dan, jujur saja, tipe narasumber yang membuat saya 100% SEGAN adalah MANUSIA RAMAH nan SOPAN. Seperti Pak Hendarman Supandji (mantan Jaksa Agung, saat beliau masih jadi Jampidsus), Pak Soenarko Danu Ardanto (mantan Kapolda Bali dan mantan Kapolda Jabar, saat beliau masih jadi Wakadiv Humas Mabes Polri), bahkan Bu Siti yang dulu membuka warung kecil di sebelah masjid Mabes Polri, para sopir dan ajudan PATI juga bapak-bapak petugas pengaman dalam Kejagung dan DPR/MPR, dan siapapun manusia sopan yang saya temui sepanjang hidup saya. Hanya mereka yang membuat saya segan.
Jadi jangan berharap saya bisa menunduk hormat saat bertemu orang yang (mengaku) pejabat tinggi. Karena, bukan jabatannya yang membuat saya menghormati orang lain, melainkan tabiatnya.
Leave a Reply