Idul Fitri 1435, Lebaran Suka – Nostalgia di Tasikmalaya

Assalamu’alaikum wr wb.

wpid-img_20140729_221331.jpgMalam kedua. Saya masih di Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat. Di kampung halaman Opa (kakek) saya. Jika kemarin saya bercerita tentang Lebaran Duka, kali ini edisi Lebaran Suka. Dan malam ini saya menulis blog ditemani secangkir kopi, yang air panasnya sudah saya tambah sampai 3x karena terpengaruh dinginnya udara Tasik. Ditemani pula oleh seekor kucing kampung, entah milik siapa, tapi cerewet sekali minta makan. 😀

Alhamdulillah.. Lebaran tahun ini keluarga saya diberi kesempatan berkumpul dengan keluarga Tasikmalaya. Kecuali bungsu saya, yang tidak mau lepas dari ayahnya. Jadi… yah, direlakan deh si bungsu biar lebaran tahun ini sama ayahnya dulu. 😦 Insyaa Allah, tahun depan mah bisa lebaran bareng si bungsu.

Kembali ke kumpul keluarga, adik saya yang bekerja di Bali, mengajak kami berkumpul di rumah Opa-Oma. Selain adik dan anaknya, mama kami, yang tinggal dengan adik di Bali, juga ikut berlebaran di sana. Saya dan dua anak saya juga ikutan.

Jadilah Mama, Pritha (adik saya) dan Ferdinand (anak Pritha) terbang dari Bali ke Jakarta. Serah-terima mobil. Setelah itu kami bertemu di Lebak Bulus. Berhubung mobilnya matic, saya nyerah deh.. Akhirnya Pritha aja yang nyetir ke Bandung. Alhamdulillah, lancar jayaaaa! 😉 Kami berbuka puasa di Tol Cipularang sambil tetap melaju menuju Bandung. Kekasih saya sempat menelepon saat kami di jalan. Dan, seperti biasa, kalau sudah kumpul keluarga, keluar lagi deh tuh canda-candaannya. Alhamdulillah.. 🙂

Setiba di Bandung, kami langsung ke rumah sewaan di Sarijadi. Rumah yang sangat asyik dan cantik, menurut saya. Dua kamar besar dan dua kamar mandi di lantai bawah, dua kamar anak plus satu kamar mandi. Semua kamar mandi memiliki water heater. Dapurnya cantik dan apik. Tema warna rumahnya hijau, putih dan cokelat kayu. Cantik sekali. I love it. Sempat bercita-cita semoga kelak memiliki rumah seperti ini.

This slideshow requires JavaScript.

wpid-img_20140729_114334.jpg
Rumah Uu’ Pisang/Uu’ Putri dan Opa Rosyid, sudah diratakan

Usai shalat Ied, kami segera berangkat ke Tasikmalaya. Lewat Cileunyi, Malangbong, Limbangan, dan tibalah di Rajapolah. Hmm.. Ada perubahan. Rumah Uu’ (alm) dan Opa Rosyid (alm)–kakak Opa saya–di sebelah rumah Opa sudah dibongkar. Diratakan. Mungkin mau dibangun sesuatu oleh Uwak saya yang membeli rumah tersebut. Terakhir saya ke Rajapolah pada tahun 2013, tapi saat itu tidak sempat jalan sana sini. Waktu tahun 2006 sih masih sempat jalan sana-sini, berkunjung ke semua saudara yang ada di wilayah Tasikmalaya.

Tahun inipun, hari pertama, hanya bisa stay di rumah, karena Opa sudah langsung bersemangat menceritakan pengalamannya semasa jadi pejuang 45 dahulu. Mau dibikinkan cerita otobiografi, katanya. Aduduuh.. Saya sih senang-senang saja, tapi itu butuh waktu dan pertemuan intens. Hihihii.. Tapi melihat Opa begitu bersemangat, sampai-sampai beliau memperlihatkan berkas-berkas selama beliau mengabdi di TNI-AU. Berkas tahun 1969 saja masih ada tersimpan rapi di map-nya. Wadaw!! Ya sudah, akhirnya saya rekam dulu cerita-cerita beliau. Insyaa Allah, jika saya ada waktu, akan saya sampaikan potongan-potongan cerita Opa di blog saya ini. 😉 Cerita Opa sih lompat-lompat, makanya nanti akan saya rapikan dulu kronologinya.

Nostalgia Tasikmalaya

wpid-img_20140729_114349.jpgAnyways, mau ngga mau, memori saat saya tinggal di Jalan Raya Rajapolah No.248 ini kembali menghuni kepala. Sekitar 32 tahun lalu, saya tinggal di sini. Rumah kecil yang terletak persis di pinggir jalan, menjorok ke dalam agak menurun. Sekarang keadaan lingkungannya sudah lebih memprihatinkan. Suasana desa dan kampung yang asri mulai hilang.

Dulu saya masih sempat menikmati bening dan derasnya arus Sungai Cibarani yang mengalir di belakang rumah. Saat itu sawah masih menghampar. Begitu juga balong (kolam) ikan gurame dan lele milik warga sekitar, termasuk milik keluarga kami, masih ada di mana-mana. Tempat pemandian umum semi permanen yang terbuat dari bilik dan bambu bercat putih juga masih berdiri kokoh.

Waktu kecil, kami sering mandi beramai-ramai di tempat pemandian umum. Meski di rumah sudah ada kamar mandi sendiri, tetap saja saya memilih mandi beramai-ramai dengan saudara dan kawan sebaya. Dulu, setiap pagi, kami berjalan agak jauh ke arah Puskesmas (sekira 200 meter ke barat) lalu menyusuri pematang sawah. Saya paling suka ketika padinya masih hijau dan airnya masih menggenang tinggi. Kami bisa melihat ikan kecil-kecil hidup di antara batang padi, memakan belalang dan hama yang bisa mengganggu padi. Tapi hati-hati, jangan sampai tersungkur ke lumpurnya, karena seringkali ada lintah di dalam lumpur. 😀 Aiiiii! Saya paling geli sama lintah.

Ya, waktu itu tahun 1983-1984, suasana Rajapolah masih begitu asri. Saya paling suka ketika pagi datang. Seorang pedagang makanan ringan, Mang Erik, pasti singgah. Beliau adalah orang yang sangat lucu, cerewet dan agak kemayu. Tapi jangan salah, Mang Erik menikah dan memiliki 5 anak (eh, atau 3 ya? :D) Kalau Mang Erik singgah di rumah, kami pasti minta beliau bernyanyi. Suaranya luar biasa. Tak kalah dengan Sinden Sunda.

Memori lainnya adalah Mang Engkus, sopir dokar (kami menyebutnya kretek) kuda. Delman, maksudnya. Selama TK dan SD dulu, Mang Engkus adalah langganan saya. Biasanya saya tidak langsung pulang, tapi ikut dulu ke Puskesmas, mengantar penumpang lainnya. Setelah selesai, barulah saya diantar pulang. Saya masih ingat sekali hangat senyum Mang Engkus dan bunyi derap lari kuda di aspal panas. Klak, klok, klak, klok. Saya suka sekali suara itu. Suka sekali dengan semilir angin tertembus delman.

Setiap naik delman, saya paling suka duduk di depan, bersebelahan dengan Mang Engkus. Melihat beliau mengayunkan cemeti, yang menepak pantat kuda cokelatnya. Kata Mang Engkus, cukup sesekali saja kudanya dicetar, kalau terlalu sering malah bikin kudanya kesakitan. “Kasihan kalau sakit mah,” begitu kata Mang Engkus kepada saya dulu, sambil terkekeh, terlihat giginya sudah tanggal beberapa biji. Jenggot putih Mang Engkus tampak kontras dengan kulitnya yang legam.

Kalau tidak di depan, saya duduk di jok belakang sebelah kiri. Jok berwarna merah, berpagar kayu yang dipoles vernis. Delman Tasik selalu cantik, karena permukaan kayunya dilukis dengan motif bunga dan daun, khas kerajinan Tasikmalaya. Tiang delman terbuat dari stainless steel, kokoh menyangga atap kanvas hitam, setinggi 75-100 cm (perkiraan saya sih). Hehehe.. Posisi delman yang tinggi memang susah untuk anak kecil, makanya tangan Mang Engkus yang kokoh selalu siap menaikkan badan kecil saya ke delman. Wait, dulu saya masih TK kaliii! Badan masih kecil, normalnya anak usia 5-6 tahun. Belum seperti sekarang. haha..

Ah, mendadak kangen Mang Engkus. Beliau sudah berpulang belasan tahun lalu, tanpa saya sempat bertemu beliau kembali. Ketika saya pindah ke Jakarta pada 1985, Mang Engkus seringkali menanyakan saya ke Oma. Terakhir saya bertemu beliau adalah sekitar tahun 1990, saat SMP. Itupun membuat Mang Engkus cireumbay (meneteskan air mata) karena bangga melihat saya sudah tumbuh besar dan tinggi. Lalu ketika saya SMA, saya mendengar kabar beliau meninggal dunia. Tentu saja membuat saya sedih. Apalagi saya ngga tahu di mana beliau dimakamkan. Beristirahat yang tenang, ya, Mang. Semoga Allah menempatkan Mang di antara para syahid. Aamiin..

Nostalgia berikutnya adalah bersama Oma. Sejak awal tahun 2000, Oma saya tercinta, Siti Aisyah, menderita alzheimer. Itu membuat ingatan beliau semakin mundur. Saat ini kondisi Oma sudah makin mengkhawatirkan. Kurus, banyak iritasi kulit–karena jarang keluar rumah–dan sudah sering buang air di kasur. Bicaranya pun sudah melantur ke mana-mana, agak mumbling (bergumam) sebagai efek dari stroke ringan setahun lalu. Meski Oma sudah tak lagi ingat kepada kami, para cucunya, itu tak masalah. Yang penting kami masih ingat kepada beliau.

Sebagai cucu paling tua, sayalah yang paling puas merasakan kasih sayang Oma. Beliau adalah nenek terbaik. Koki andal. Masakannya selalu enak. Nasi goreng kambing, gulai kepala kambing, kolak labu kuning, pepes ikan, dan berbagai jenis kue lebaran, Oma adalah maestro di dapur! Saya pernah minta kepada beliau agarmewariskan tangan ajaibnya kepada saya, supaya saya juga bisa jago masak seperti Oma. 🙂

Oma yang selalu bertutur kata lembut itu sering berpesan, “Yeuh, neng, Oma mah ngga akan hidup selamanya. Tapi hanya satu saja pesan Oma, omat nya’ (diingat baik-baik), tegakkan shalat lima waktu. Itu aja, neng..” kata Oma berulang-ulang, di sela kesibukan masak, atau menjelang tidur. Saya selalu ingat genggaman tangan Oma yang lembut. Dan tadi siang, saya merasakan kembali genggaman tangan yang sama. Saya jadi berpikir, sepertinya, meski secara ingatan di otak Oma sudah tidak lagi mengingat saya sebagai cucu tertuanya, tapi pikiran bawah sadar dan tubuhnya masih ingat.

Oma dan Ithoy. Tangan Oma terus menggenggam tangan saya. :)
Oma dan Ithoy. Tangan Oma terus menggenggam tangan saya. 🙂

Selama hampir setengah jam tadi Oma menggenggam erat-erat tangan saya. Genggaman penuh sayang serupa dengan yang saya rasakan puluhan tahun lalu, ketika saya masih kecil. Saya sungguh percaya dengan pikiran bawah sadar dan kasih sayang memang abadi, mampu menembus sakit pikiran separah apapun. Makanya sejak kemarin saya berkata kepada Oma, “Tidak apa-apa Oma lupa sama Nina, sama Ithoy (adik saya–Red.), yang penting Nina dan Ithoy ingat sama Oma..” Adik saya mengamini ucapan itu. Saya juga melarang mama menunjukkan air mata di depan Oma. Karena saya percaya, meski pikiran Oma sudah tidak ingat, jiwa di bawah sadarnya pasti masih mengingat dan merekam air mata tersebut. Saya tidak ingin Oma merasa berat hati melihat anak-cucunya sedih melihat kondisi beliau. Biarlah Oma cukup mengingat senyum kami saja.

Selebihnya, Ya Gusti, jika Engkau berkehendak memulihkan beliau dari sakit alzheimer ini, maka jadilah. Jikapun tidak, izinkan beliau tinggal di surga-Mu, karena bakti Oma kepada Opa sebagai istri sungguh luar biasa. Bakti Oma sebagai ibu kepada mama dan tante/om kami, juga luar biasa. Bakti Oma sebagai nenek kepada kami, cucu-cucunya, masya Allah tak perlu diragukan lagi.

Okelah, saya akhiri dulu di sini. Besok, insyaa Allah, saya akan tulis lagi entry selanjutnya: Lebaran Suka – Makanan dan Jajanan. Hehehehe.. Selamat beristirahat, KawaNina semua.

2 Comments Add yours

    1. Hehehehehe.. terima kasih sudah mampir, Pak Wient. 🙂

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.