
Beberapa hari lalu, saya berbincang singkat via Blackberry Messenger (BBM) dengan sahabat saya sejak SMA, Poppy Kristanti. Kami bicara soal liburan sendiri, sebagai pribadi, tanpa anak ataupun suami. Tapi penafsiran lingkungan atas permintaan ini sepertinya ekstrim, bahkan sampai menuduh, “Tega-teganya seneng-seneng sendiri, ninggalin anak.” Begitu diungkapkan Poppy.
Waduh! π
Saya nyengir, bercampur prihatin. Memang begitulah “reaksi standar” sekeliling kita, begitu mendengar ada seorang ibu meninggalkan anaknya untuk rehat liburan, selama 2-3 hari–paling banyak 7 hari lah. Dengan mengajukan dalih: “Dasar ibu ngga bertanggung jawab. Ninggal-ninggalin anak. Padahal anak kan tanggung jawabmu.” Mendengar ini pastinya si ibu tersebut langsung esmosi jiwa. π
“Masa sih ngga boleh kita menghabiskan waktu untuk diri sendiri?” protes Poppy. “Padahal kalau suami sih pasti ngebolehin. Yang dititipi anak ini nih, yang biasanya berkomentar nggak enak.”
Hmm.. Saya setuju dengan ucapan kawan saya itu. Yes. Kenapa ibu bekerja tidak boleh mengambil hak “me time”? Apalagi kami ini working-moms (ibu bekerja), yang notabene melakoni double job: sebagai perempuan karier dan ibu rumah tangga. Lha wong ibu rumah tangga, atau ibu yang hanya bekerja di rumah saja bisa jenuh dengan aktivitas rumah tangga kok, apalagi yang “double-job” seperti ibu bekerja ini? Sudahlah menjadi provider (pencari nafkah), juga menjadi bedinde (pembantu rumah tangga). Istimewanya, ibu bekerja ini adalah jenis bedinde yang sah mengomeli anak-anak kalau mereka malas membantu. Hehehe.. π
Saya tidak bermaksud memaknakan ibu bekerja dengan definisi double-standard, tapi kalau saya pribadi sih melakukan itu. Yang paling penting saya sudah melakukan tugas kita dengan baik: sebagai ibu, sebagai pemberi nafkah, dan sebagai pembayar semua tagihan rumah tangga. π So, rasanya mengambil jatahΒ “me time” bukan berarti kita tidak sayang anak, apalagi sampai dicap sebagai ibu tidak bertanggung jawab. Lebay deh ah..
Anyways, saya baru ngeh kalau tahun 2010 pernah menulis soal “me time” di notes facebook. Saya langsung kutip aja di bawah ini yaa..
Menghabiskan Waktu Untuk Diri Sendiri. Perlukah?
November 8, 2010 at 11:17pm
Ada kalanya saya ingin menghabiskan waktu untuk diri saya sendiri, tanpa teralihkan urusan rumah tangga, pekerjaan atau tugas sebagai ibu. Seakan saya membalikkan waktu dan kembali pada masa remaja: tanpa kekhawatiran (socially), tanpa tanggung jawab (kecuali terhadap diri sendiri), dan tanpa beban. Just be me. This “little” old-me!
Saya berpendapat, menghabiskan waktu untuk diri sendiri itu sehat. Hal itu membuat saya sadar bahwa “Nina masih Nina”. Bahwa hidup saya masih milik saya. Ketika menikah dan memiliki anak, saya berbagi hidup dengan suami dan anak-anak. Kata kuncinya: berbagi. Bukan menghilangkan ataupun mendominasi. Itulah alasan utama kenapa saya tetap butuh waktu untuk diri sendiri..
Dan, definisi “me time/menghabiskan waktu untuk diri sendiri” versi Nina ini simpel:
- Segelas es kopi susu + bacaan ringan. Atau,
- Segelas es kopi susu + film seru. Atau,
- Segelas es kopi susu + komputer untuk menulis. Atau,
- Segelas es kopi susu + game komputer.
— Urutan tersebut di atas disusun berdasarkan lamanya waktu yang diperlukan. Dan, ya, harus ada segelas es kopi susu! π
Sekitar 8 atau 10 tahun lalu, saya pernah mencoba “menyepi” untuk merenung dan tafakur. Jadilah saya menunggangi kendaraan, menjauh dari hingar-bingar kota. Sendirian. Saya lari ke pegunungan, mencari hawa sejuk dan berharap bisa menikmati kesendirian itu. At that time, it sounds romantic, really. But, somehow, I realize, I don’t fit such way! Wekekekekke..
Somehow, menyepi di tepi pantai atau membiarkan diri diterpa sejuknya angin gunung guna merenung tidak cocok buat saya. Heck, no, I have no clue why! Di otak, idenya berasa romantis. Begitu dijalani, ugh, gak sreg. Looks like I was never born to be a calm person who praise solitude. I love (and preferred) fluctuating situation, and I seemed to refuse the idea of diving too deep within myself–somehow! Hihihihi..
Kemudian, ada kalanya juga saya tidak suka sendirian dengan gelas dan buku atau dvd atau komputer. Jika rasa enggan sendirian itu datang, saya pun segera “mengganggu” baby Farrell yang sedang tidur, menggendongnya lalu menciuminya. Atau menendang-nendang kaki suami agar menemani saya begadang. Hehe.. Nah, bagaimana “menghabiskan waktu untuk diri sendiri” versi teman-teman?
Oke, sampai baris ini, saya update ya. Sesuai situasi dan kondisi sekarang. Seiring waktu berlalu, kebutuhan “me time” versi saya juga berubah, meski masih tetap melibatkan segelas es kopi susu atau frappuccino (kopi susu diblender dengan es, sampai menjadi smoothie). π
Hanya saja sekarang saya suka juga duduk-duduk di pantai, lalu foto-foto dengan KawaNina. Nahhh, begitulah “me time” versi Nina sekarang. Wekekekekeke..
Pertanyaannya, sekali lagi, bagaimana “me time” versi KawaNina?
Ok, kita bisa share nulis ringan. Enak dibaca, mungkin ini awal buat buku menulis pengalaman di P2KP atau di PNPM Perkotaan. Semoga terwujud.
Mantaaappp.. Kalau Pak Bas butuh editor bukunya nanti, kontak saya ya, Pak. Hehehehe..
Ok, insya’allah kita ke depan bisa share tulisan2 ringan sbg cikal bakal produk buku pengalaman di PNPM Perkotaan
Ayo, Pak, ditunggu tulisan-tulisan berikutnya. π
Haha..sebenernya kl banyak bekel..pop bs noy..piknik sendiri..yg penting ninggalin bekel buat anak..sm yg nunggu..beres deh..lgsg bs hengot..cm kdg ga enak hati kl pergi lama2..kl me time nya cm dpn lappy sambil santei sendiri doang mah gampang..lah pop mah me time nya pengen nge bolang sendiri..repot oge nyaaaa…hahaha..
Hahahaha.. iya yaa.. Kata kuncinya adalah: ninggalin bekel buat anak dan buat yang ngejaganya.. Wekekekeke…
Hayuk ah, sesekali kita ngebolang nyorangan alias jadi backpacker? π