Hai, sang pemilik hatiku, di mana kah gerangan keberadaanmu? Aku tersesat usai berlari dengan membawa bara angkara di dada. Mata ini pun dipenuhi kabut kekecewaan. Benak masih dikuasai kekalutan suasana saat kubanting pintu menuju kalbu. Terkunci gembok sudah.
Namun, ketika jam di menara kejauhan berdentang delapan-belas kali, dan sinar mentari menyembul di balik awan mengusir malam, akupun tersadar. Hidup terus berjalan, tanpa sudi menungguku mendingan. Tanpa peduli dengan protesku nan lantang.
Adalah aku, yang terpaku di masa lalu.
Dengan rasa malu, kukais kembali rerumputan, mencari kunci gerbang yang kutancapkan ke tanah. Amarah telah reda, asapnya tak lagi memedihkan mata.
Hanya saja, kini pikiranku dikaluti kebingungan. Di mana aku berada? Apakah aku terlalu jauh berlari, hingga tanpa sadar hutan rimba terambahi? Sejauh mata memandang, hanya hamparan hijau dedaunan, bergemerisik berisik membuat jiwa ini terusik.
Badan ini mulai gemetar sampai ke tulang. Terpekik sebaris kalimat, “Aku ingin pulang!”
Namun aku tak tahu harus ke mana melangkah. Tiada jalan setapak pun terhampar di hadapanku. Yang ada hanya ratusan fragmen di langit mengenai kisah-kisah indah. Mengenai lelaki yang mencintai perempuannya. Mengenai perempuan yang dimanjakan lelakinya. Kisah-kisah romansa yang tak pernah tersaji untukku, selain hanya dalam khayal semata.
Waktu terus berjalan. Malam berganti siang, dan siang tergeser malam. Aku yang tersesat masih duduk dalam diam.
Diam.
Diam.
Dalam diam..