Disclaimer: Kisah berikut ini hanyalah sebuah fiksi, yang inspirasinya memang dari fakta yang terjadi di seputar dunia pemberdayaan. Kami tulis hanya sebagai keprihatinan, syukur-syukur bisa menjadi bahan renungan untuk perbaikan. Karena pada dasarnya, pemberdayaan adalah pembelajaran, dimana kesalahan terjadi untuk diperbaiki, bukan untuk dihakimi. Segala kesamaan kejadian, tempat atau nama hanya kebetulan semata.

“Kalian semua kan sudah kami transfer uang besar untuk tutup mulut. Jadi, hentikan pemeriksaan keuangan oleh Anda, kalau tidak mau dipecat!” Klik. Tut.. tut.. tut.. Telepon itu singkat, tapi terasa bagai petir di siang bolong di telinga Risa.
“Siapa, Ris?” tanya Arman, demi melihat raut muka rekan kerjanya yang tertegun tapi pucat. “Kamu nggak apa-apa? Siapa sih yang menelepon, sampai kamu berwajah aneh begitu?”
“Ng… Nggak tau itu siapa yang menelepon, Bang,” Risa mencoba menetralisir keterkejutannya, “Seharusnya nggak saya angkat. Apalagi nomornya tidak dikenal.”
Arman mendekati Risa, lalu mengintip ke Blackberry (BB) di tangan Risa. Tanpa diminta, Risa menunjukkan status call log terakhir di BB-nya. Tertulis “Unknown Number”, menelepon selama 1 menit 10 detik. Telepon gelap.
“Ngomong apa si peneleponnya? Laki-laki atau perempuan?” Arman menatap tajam ke mata Risa.
“Laki-laki, Bang. Suaranya berat dan saya ngga mengenali suaranya. Dia bilang, ng…” Risa ragu meneruskan. Namun, sejurus kemudian ia mencondongkan badannya mendekati Arman yang berdiri di depan mejanya. “Dia bilang, saya harus menghentikan pemeriksaan keuangan, karena si orang ini sudah mentransfer untuk tutup mulut,” lanjut Risa, setengah berbisik.
“Transfer apaan?” Arman terkejut. Sungguhan. Ia sadar suaranya agak terlalu keras. Risa memelototinya. Arman mengerti kode itu.
“Ya, uanglah. Katanya transfer uang besar ke kita semua untuk tutup mulut,” alis Risa bertaut tanda serius.
“Ih, dibilang kita semua? Enak saja! Saya ngga menerima apa-apa dari siapapun. Kamu menerima transferan dimaksud?” tanya Arman, meski ia bisa memerkirakan jawabannya.
“Saya hanya menerima transferan gaji setiap bulan dari manajemen. Itupun kadang telat,” kedua tenaga ahli itu terkekeh. Setidaknya kalimat bernada canda tersebut mencairkan ketegangan suasana.
“Beneran, Ris. Transferan apaan maksudnya? Kamu ada dengar soal itu?” Arman kembali serius, tapi sikapnya lebih santai sekarang.
“Entahlah. Saya juga baru dengar ini. Akan saya coba perdalam lagi pemeriksaan keuangan ini. Diteror begini saya malah jadi merasa tertantang,” wajah Risa mengeras. Dalam hatinya malah semakin bulat tekad untuk mengungkap penyimpangan dana yang sedang ia selidiki beberapa bulan terakhir ini.
Bermula dari laporan fasilitator ekonomi, yang mengaku menemukan kejanggalan pembukuan di masyarakat dampingannya. Hanya saja, karena besaran kejanggalan itu bernilai cukup fantastis, Fasilitator Kelurahan (Faskel) bersangkutan kebingungan mencari jalan keluarnya. Untuk itu ia memutuskan menghubungi atasannya, Koordinator Kota (Korkot)—sebut saja namanya Kota Panini.
Ternyata, Korkot juga menerima laporan serupa dari beberapa Faskel di sejumlah kelurahan di Kota Panini, yang menjadi tanggung jawab dampingannya. Turut merasa pusing, Korkot Panini pun menghubungi Risa, sang Tenaga Ahli (TA) Manajemen Keuangan (MK) Kantor Manajemen Wilayah (KMW) provinsi.
Sebagai TA MK, tentunya Risa memiliki keahlian melakukan pemeriksaan sekaligus audit kecil-kecilan. Dan, betul seperti yang dikatakan fasilitator ekonomi, nominal kejanggalan pembukuan yang ditemukan memang cukup membuat mata terbelalak. Jadi mau tidak mau, Risa melanjutkan pemeriksaan melalui uji petik. Berhubung pembukuan dimaksud erat kaitannya dengan kegiatan fisik, Risa mengajak serta TA Infrastruktur KMW Arman untuk uji petik.
Sayangnya, tidak seluruh wilayah yang diadukan bisa didatangi kedua TA itu gegara kendala budget pendukung. Maklum, uji petik kali ini di luar yang telah di-budget-kan oleh manajemen. Jadilah kedua TA ini suka rela merogoh koceknya sendiri dan membayar tiket pesawat sendiri guna melakukan uji petik tersebut. Tak apalah, demi tanggung jawab moral dan profesi, begitu alasannya. Jadilah Risa dan Arman memutuskan mendatangi hanya 4 dari 21 kelurahan yang diadukan. Setidaknya empat kelurahan ini diperlakukan sebagai sampel uji petik untuk dilaporkan kepada Team Leader (TL) nantinya.
Usai uji petik, Risa dan Arman pun melaporkan temuan mereka di lapangan kepada sang TL KMW. Menerima laporan seperti itu, TL KMW memang bereaksi. Hanya saja, menurut pengamatan Risa, reaksi tersebut agak lebay—alias berlebihan. “Kok bisa begini? Ya ampun! Bagaimana ini? Laporan ini baru dari empat kelurahan? Trus 17 lainnya bagaimana? Kalau semuanya sama saja, celaka kita. Wah, ini semua gara-gara dana kompensasi BBM yang harus dikelola program ini. Lagian bagaimana sih, Pusat ini seenaknya saja memberi kita tugas tambahan. Buru-buru pula prosesnya, mulai dari pencairan, penyerapan dan realisasinya. Payah..” Kira-kira begitu reaksi sang TL.
Mendengar itu, Risa dan Arman saling melempar pandangan. Bahkan Arman sampai menaikkan bahu. Mereka berdua merasa agak aneh dengan omelan TL tersebut. Okelah, mungkin karena dia baru bertugas di provinsi ini, tapi bukankah seharusnya seorang leader tidak bersikap panik? Tidak hanya itu, isi celotehannya pun agak tidak nyambung dengan fakta lapangan. Isi laporan uji petik adalah soal penyimpangan dana pelaksanaan, kenapa malah jadi mempertanyakan kebijakan Pusat menurunkan program baru?
Usai mengomel, TL memutuskan akan segera melakukan tinjauan lapangan ke Kota Panini. Tapi ketika akhirnya ia berangkat ke Kota Panini, sang TL tidak mengajak siapapun. Tidak TA MK, pun TA Infra. Padahal jelas, kejanggalan terjadi di dua bidang tersebut: keuangan dan realisasi infrastruktur. Alasannya simpel—tidak ada budget untuk berangkat beramai-ramai.
Hanya saja, yang lebih aneh buat Risa dan Arman, setelah kembali ke KMW pasca uji petik, TL tidak mengomunikasikan sama sekali hasil tinjauannya ke Kota Panini kepada Risa maupun Arman, apalagi TA lainnya. Malahan, keesokan harinya sang TL berangkat ke Jakarta guna menghadiri Rakor PD-TL Nasional, tanpa sempat lagi melakukan rapat internal guna mendiskusikan apapun hasil—ada temuan atau tiada-temuan—TL di Kota Panini. Pun tidak menyampaikan informasi tersebut melalui email. Hal ini menjadi tanda tanya bagi kedua TA.
Ditambah lagi telepon gelap yang diterima Risa tadi, malah menguak tabir bahwa ada transferan dana tutup mulut yang—katanya—ditujukan bagi “kalian semua”. Kuat dugaan, kalimat tersebut maksudnya adalah terdapat dana siluman masuk ke KMW. Ini membuat Risa galau. Bukan karena ia tidak “kebagian”, tapi karena benang merah antara penyimpangan dana di lapangan dengan lambannya KMW mengambil tindakan, jadi terlihat semakin jelas.
Bersambung..
Leave a Reply