Saya Penulis, Bukan Pendusta

Jelang Ramadhan 12, tetiba teringat beberapa mantan yang menuding saya gombal, bahkan “mengarang indah” alias berbohong, ketika saya mendeskripsikan perasaan kekaguman terhadap mereka. Tudingan itu didasari alasan bahwa saya penulis.

Hmmm.. mereka ngga tau, ucapan begitu sebenernya menyakitkan hati saya, berkali-kali lipat, karena merekalah yang mengatakannya. From all people in this world, mereka adalah orang terdekat dengan saya (saat itu). Mengatakan hal seperti itu ibarat menembak jantung saya dari jarak 0 cm. Point blank. DOR!! Hancur. Remuk hingga jadi serpihan.

Menyakitkan, karena artinya mereka meragukan kemampuan intelegensia saya dalam MEMILAH mana fiktif dan mana fakta. Pun artinya, mereka meragukan kejujuran saya. Saya orang jujur. My parents taught me: “Honesty is the golden rule.”–Kejujuran adalah peraturan paling dasar dan segalanya. Kejujuran juga membuat saya tidak ragu mengemukakan pendapat, termasuk perasaan. Lalu saya dibilang “pembohong”? Mak, sakitnya tuh di sini…

Okelah, saya paham, “merayu” pasangan dari perempuan ke lelakinya memang tidak umum di negeri ini. Bahkan mungkin tabu, dan ditabukan. Wew… Patriarchy much, eh, Indonesia? 😢 Ah, sudahlah… saya gak akan membahas perihal kultur sosial kita.

Hanya saja, sempat tersisa lara. Apa ngga tau, bahkan untuk seorang penulis dan eks jurnalis hukum-kriminal dan politik seperti saya, mengakui perasaan ke dalam tulisan adalah hal yang sulit. Kami memang ahlinya mengolah kalimat dan bermain diksi, tapi diperlukan NYALI, keberanian dan muka tembok, untuk menyatakan semua perasaan yang mengendap di dalam dada.

Hanya karena saya mampu tetap bersentuhan dengan romansa, mampu menjiwai dan menyelam ke dasar hati guna menariknya ke permukaan untuk diekspresikan, lalu saya dikira sekadar menggombal? Setelah susah payah menggodok pikiran, merangkai kata, yang melahirkan untaian kalimat manis, santun merayu, dan indah, lantas saya dibilang, “Ah kamu kan penulis cerita fiksi. Mudah saja mengarang indah seperti ini. Tidak perlu sungguh-sungguh…”

Mendengar itu rasanya sebongkah hati ini lepas dari tempatnya dan menyublim menjadi sub atom yang nyaris bersenyawa dengan ketiadaan. Meninggalkan rasa sakit tanpa pendarahan. 😢 Lebay? No. Itu yang saya rasakan.

Bukankah seharusnya seorang pasangan adalah dia yang paling menjaga perasaan kita dengan menjaga ucapannya? Lagian semua “pernyataan bernada rayuan” itu dilakukan agar dia merasa bahwa saya menghargai keberadaannya; bahwa saya mengasihi dia dengan cara yang paling saya tahu; bahwa saya sebenarnya ingin mendengar feedback apresiasi balik, sesimpel ucapan, “Terima kasih sudah membuatku merasa berarti, sayang… Aku makin cinta kamu.” Sesederhana itu.

Ahh… sudahlah (lagi). *sigh* Simply, we’re not meant to be.

Tulisan ini didedikasikan buat mereka yang punya pasangan seprofesi dengan saya: penulis/pengarang/editor. Please hargailah upaya kawan seprofesi kami dalam merangkai rayuan mereka kepada Anda, karena Anda adalah manusia terdekat di hati mereka. Sungguh, reaksi yang kami harapkan hanya sesederhana ucapan, “Terima kasih, aku juga cinta kamu.” Bahkan kalau bisa, berilah pelukan sayang kepada mereka. Percayalah, kalimat mereka (selama tidak plagiat, ya!) adalah ketulusan dari dasar hati.

Hanya karena kami ini penulis atau pengarang cerita, bukan berarti kami ini tukang dusta. Kami jauh lebih berharga (diri) daripada pendusta.

Tabik. Selamat sahur, buat yang menjalankannya.

Tangsel, 28 Mei 2018
– NFR –

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.