Akhirnya Ano punya keputusan. Dan, keputusan itu adalah…
Dua puluh tiga menit sebelumnya
“No, menurut loe, kalau sudah jadi mantan, mungkin nggak jadi teman?” Delia bertanya dengan nada ringan, seraya meraih almond cookie yang tergolek pasrah di piring kecil berwarna gading. Ucapan itu memecah kesunyian satu jam terakhir di sudut kafe yang tidak terlalu ramai, di mana dua gadis manis duduk berhadapan di sofa oranye.
Seorang gadis berambut pendek berkulit hitam manis, Ano, yang tadinya asyik mengetik di laptop sontak berhenti. Badannya tidak bergerak. Hanya matanya saja yang melirik ke arah Delia. Alis matanya terangkat sebelah.
“Mungkin aja..” jawab Ano pendek. Ia melanjutkan jemari lentiknya mengetik.
“Kalo gue sih nggak kepikiran bisa jadiin mantan sebagai teman,” sahut Delia.
“Kenapa nggak?”
“Yaa nggak mungkin aja. Itu kalo gue. Abisnya, pasti kasuat-suat kali!” suara Delia seperti menghambur. Ada nada ganjil yang tertangkap telinga Ano, sampai-sampai Ano melirik Delia lagi. Yang dilirik, tenang-tenang saja mengunyah kue sambil membaca majalah Top Gear, seakan tak peduli sedang ditatap oleh sahabatnya sejak SMA itu.
“Kasuat-suat?” Ano sama sekali berhenti mengetik. Ia bersandar sambil meregangkan punggungnya.
“Iya.. Itu bahasa Sunda buat istilah… terasa me-nya-kit-kaaan..” mendadak Delia bergaya bak pemain Broadway amatiran. Ekspresi wajahnya mendadak sedih. Kedua alisnya turun dan tangannya yang sedang memegang kue melambai di samping pipi kanannya, seakan tengah membaca puisi.
“Halah, lebay loe,” Ano terkekeh.
Delia meletakkan majalah di meja, lalu menatap Ano lekat-lekat, “Mungkin ini bahasan nggak penting, tapi beneran bisa terjadi kan?”
“Iya, iya. Tapi gue bisa kok. Buktinya beberapa mantan gue sekarang jadi temen kok,” kata Ano.
“Hah! No way! Kok loe bisa sih? Kok loe mau sih? Siapa? Siapa? Tell me! Name them! Kalo gue mah gak bakalan bisa deh. Not in a million years, no thank you!” Delia setengah meracau.
“Shut up, you drama queen!” Ano menahan ledakan tawanya.
“Seriously, tell me. Siapa aja mantanmu yang sampe sekarang jadi temen?” tanya Delia sambil melahap potongan terakhir kue almond di tangannya.
“Wah, nggak yakin loe kenal mereka. Eh, dipikir-pikir aneh juga ya, kita bisa tetep sahabatan selama belasan tahun, meski kita nggak banyak cerita tentang kehidupan pribadi masing-masing,” kata Ano.
“Udah deh, nggak usah ngalihin perhatian! Ayo sebutin siapa aja mereka. Capcus..”
Ano tertawa. Ia tahu, dalam hatinya Delia juga mengakui keunikan persahabatan mereka. Tidak selalu bersama-sama, tidak selalu bercerita urusan pribadi. Cukup say hello satu dua kali dalam sebulan, bertemu muka setahun sekali, bahkan kurang. Tetapi, kapanpun dibutuhkan, satu sama lain akan siap hadir dan mengulurkan tangan. True friendship? They DO think so.
“Ya banyak.. Bintang, Daniel, Wildan, Andre..” Ano menyebut, agak asal. Sejujurnya, Ano sendiri sangsi, apa mereka yang disebutkan itu benar-benar jadi teman setelah mereka putus.
“Hmm.. Okay, next question. Mungkin nggak balikan sama mantan?”
Ano membelalak. Agak sebal dengan tanggapan dingin Delia setelah ia menyebut nama-nama mantannya itu, “Iiih, kok udah langsung next question? Kirain mau dibahas. Percuma dong gue inget-inget siapa aja nama mantan gue yang sekarang jadi teman.”
“Nggak perlu ngebahas. Toh gue tau kalo loe sendiri sebenernya ragu apa mereka beneran jadi temen atau sekadar hubungan baik, tapi kalian ngga pernah saling kontak lagi karena emang ngerasa nggak perlu kontak lagi, kan. People move on and so should we,” Delia nyerocos lagi, mendadak jadi Sigmund Freud versi cewek.
Ano jengkel, tapi cuma bisa manyun.
“Jadi, mungkin nggak balikan sama mantan?” Delia mengulangi pertanyaan sebelumnya.
“Hmm, kalo yang itu sepertinya nggak mungkin..” Ano menjawab, setelah berpikir beberapa detik.
“Kenapa nggak mungkin?”
“Ya, simpelnya sih, kalau masih bisa diperbaiki, nggak akan jadi mantan kan? Seseorang jadi mantan tu karena memang kita nggak akan berubah pikiran lagi,” kata Ano.
“Baguslah, setidaknya loe bukan lagi tipe cewek labil,” cetus Delia.
“Hah, siyall..” Ano melempar bantal sofa yang ada di pangkuannya ke arah Delia. Dengan tangkas Delia menangkap bantal, sebelum mendarat di mukanya. Keduanya tertawa geli.
“Trus, gimana sama yang putus-nyambung?” tanya Delia lagi. Ano tertegun. Ia terdiam sejenak, lalu tersenyum saja.
“Mungkin karena masih bisa diperbaiki?”
“Kalau masih bisa diperbaiki, seharusnya nggak usah diputusin sejak awal kan? Cukup cooling down aja. Lha kalau terlanjur putus, itu artinya udah jadi mantan kan? Seharusnya nggak balikan lagi dong?”
Ano terdiam lagi. “Ngapain sih nanya-nanya ginian, De?”
“Pengen nanya aja. Wooo.. Jangan ngira bisa ngalihin pertanyaan gue ya! Cepetan jawab. Kalo putus nyambung gitu, artinya konsisten nggak sama pernyataan ‘kalo udah jadi mantan, mana mungkin balikan?'” Delia terkekeh, jahil.
==========================================================================
*note:
Saya menulis Cerpen ini sudah cukup lama: 24 Maret 2010. (Sumber: https://www.facebook.com/notes/nina-razad/akhirnya-ano-punya-keputusan/420324244672)