Kemarin, di Bali, ada dua event besar yang dilaksanakan bersamaan. Pertama, Nyepi bagi umat Hindu Bali. Kedua, shalat gerhana bagi umat Muslim Bali.
Jumat lalu, ketika saya sowan ke Bali untuk menjenguk papa, beliau menceritakan imbauan khatib shalat Jumat siang sebelumnya, terkait Nyepi dan shalat gerhana. Khotib menyarankan hal simpel, shalat lah tanpa speaker. Apalagi, menurut keempat imam mahzab, bacaan surat dalam shalat gerhana cukup diucapkan sirr (perlahan). Jadi imam tak perlu menggunakan mikrofon. Jika makmum tidak mendengar bacaan imam, makmum cukup membaca, “Subhanallah..” (kelanjutannya, saya lupa. Ada yang tahu?)
Kemudian papa melanjutkan, “Sepanjang Papa mengenal Bali, tidak pernah sekalipun Papa temukan orang Bali yang rasis atau SARA. Semuanya toleran. Jadi jika ada media yang menyebutkan bahwa umat Islam di Bali kesulitan beribadah, itu bullshit. Yang ada malahan setiap kegiatan yang digelar Muslim Bali, dibantu jaga pula keamanannya oleh Pecalang (polisi tradisional Bali). Jadi tidak perlu mengajarkan orang Bali tentang toleransi. Mereka ahlinya. Berabad-abad sudah lewat, kehidupan di Bali tetap terjaga kedamaiannya.”
Secara lalu lintas, kadang macet juga sih, seperti di Denpasar, Renon, Badung, Legian (Kuta), Jimbaran, dan sekitarnya, tapi tak pernah sekalipun saya mendengar makian ataupun orang bertengkar di jalan. Lagipula, cukup menarik melihat bule-bule bertato di lengan dan kaki, naik motor sewaan, berjalan beriringan di jalan. Saya melihatnya lucu.. hihihihi..
Saya punya beberapa tulisan tentang Bali yang ada di kepala. Soal budaya, soal reklamasi, soal modernisasi… nanti lah saya tulis kalau ada waktu. Sekarang, kerja dulu. 🙂
Have a great Thursday.
Leave a Reply