[Wisdom] tak ada waktu untuk mengeluh

Pak Saidi and I

 

Inget Pak Saidi, tukang parkir di Indomaret Pupan, yang pernah saya ceritakan di wall beberapa pekan lalu? Pagi ini kami bersua dan dia langsung bercerita kondisi ibunya yang sakit. Dan, seperti biasa, tak ada nada mengeluh ataupun beban mahaberat. Ia bercerita sambil tersenyum lebar.

“Sakit apa ibu, Pakdhe?” tanya saya tadi.

“Biasalah, sakit tua. Udah tua gitu,” jawabnya, masih nyengir. Namun, tak dimungkiri, ada rona kesedihan di matanya.

Obrolan kami berkali-kali terpotong oleh kesibukan ia memarkirkan mobil. Walau begitu, ia menyempatkan diri berbincang dengan saya, yang duduk di pagar pembatas areal parkir Pupan.

“Saya seminggu ini bolak-balik terus, sini dan sana (maksudnya Cikarang, rumah Pakdhe Saidi–nin). Waktu ibu sakit, dia minta dianter ke rumah saya yang di sana. Ya udah, saya anter. Saya tanya ke ibu, kuat ngga jalannya? Kalau ngga kuat, ya udah naik taksi. Lumayan, dari sini ke rumah saya nyampe Rp250.000 aja sih,” kisahnya.

“Astaghfirullahal’azim.. mahal juga ya,” tanpa sadar saya berseru.

Pak Saidi hanya tertawa kecil. “Soalnya ibu kan udah nggak kuat bangun, ya udah naik taksi,” balasnya. Tak ada nada keberatan sama sekali. Saya sampai menggelengkan kepala. Bukan karena ongkos taksi yang seperempat juta rupiah itu, melainkan karena sikap besar hati Pak Saidi menuruti kemauan ibunda tercinta. Sementara, kita tahu bahwa ia bukan orang yang berkecukupan, walaupun ia berhasil menyekolahkan istrinya sampai lulus S1 dan ketiga anaknya. Bermodal kegigihan menjadi tukang parkir dan kerja serabutan…sungguh saya mengagumi semangat bekerja dan kebesaran hatinya.

“Senin ibu minta antar, Selasa saya balik sini, Rabu subuh ibu telepon, minta dijemput pulang. Tau nggak jam berapa minta pulang?”

“Jam berapa?”

“Jam setengah tiga subuh. Orang mah masih tidur, ibu nelepon minta dianter pulang,” jawabnya sambil terkekeh.

“Ya Allah,” saya jadi ikut tertawa.

“Ya udah saya bilang, iya nanti pagi saya anter,” ia kembali terkekeh.

“Tapi ibu di sini ada yang ngurus kan?”

“Ada kakak saya,” jawabnya.

“Nah kemarin itu saya bolak-balik deh. Jadi, Jumat, Sabtu, Minggu saya kerja juga akhirnya,” ujar Pak Saidi lagi. Tumben. Biasanya setiap weekend ia menghabiskan waktu di Cikarang bersama keluarga. Mungkin karena menggantikan waktu kerja beberapa hari yang terpotong karena melayani sang ibu.

Perasaan saya jadi campur aduk. Antara kagum dengan semangatnya, kagum dengan kasih sayangnya kepada ibunda tercinta, kagum dengan rasa tanggung jawabnya menafkahi keluarga, kagum dengan rasa syukurnya menjalani hidup sehingga ia tak lagi punya waktu mengeluh.. Sungguh, Pak Saidi, dengan segala kesederhanaan dan kesahajaannya, adalah salah satu manusia paling mengagumkan di mata saya.

Semoga ibunda lekas sehat dan segar kembali, ya, Pak..

View on Path


Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: