
Kemacetan Jakarta rupanya membawa kerugian bagi petarung jalan raya—begitu saya menyebut para sopir bus dan angkutan umum Jakarta. Setidaknya itu hasil obrolan 2 jam saya dengan Pak Budi Masrani, sopir bus Bianglala 76 jurusan Ciputat-Senen. Sudah 20 tahun Pak Budi menjadi sopir Bianglala, sejak 1994, tepatnya.
“Dulu kami bisa 4-5 rit sehari. Sekarang paling banyak 3 rit. Itupun kalau siang sepi. Kemarin siang saya hanya bawa 12 orang satu bus. Otomatis pemasukan berkurang. Makin banyak aja mobil dan motor sekarang, sampe saya ngga habis pikir,” kata bapak dari tiga putra dan satu putri ini.

“Ini pasti gara-gara perdagangan bebas. Jadinya produk-produk dari luar negeri masuk seenaknya aja ke dalam negeri. Bangsa yang memproduksi mobil dan motornya malah nggak ngga semacet kita negaranya kan?” sahut Pakdhe kondektur.
Wow. Saya sampe melongo mendengar pak kondektur berambut putih itu nyerocos soal teorinya terkait free trade. Wah, bapak ini pasti sering baca koran. Hehehe.. Mantap!
“Lalu lintas semakin parah macetnya itu mulai tahun 2008, Bu. Sebelumnya sih enak, lancar. Sekarang semua orang punya mobil sendiri dan ngga ada peraturan yang membatasi jumlah mobil di Jakarta ini. Jadinya yaa begini deh macetnya,” ujar Pak Budi lagi.
Lebih lanjut, baik sopir maupun kondektur sama-sama mengakui, mereka selalu ngeri dengan “sepak terjang” motor di jalan. Seharusnya mereka diberi jalur khusus saja agar tidak membuat kagok mobil. “Kalau bisa jalur mereka di atas aja, jalanannya dibikin tingkat gitu,” seru Pak Budi, membuat saya terbahak.
Sebenarnya itu bukan ide yang terlalu buruk. Tapi, mungkin nggak yaa pemerintah membuat jalanan bertingkat begitu khusus untuk jalur motor?

Selebihnya, obrolan kami adalah seputar banjir dan macet yang terjadi tiga hari terakhir. Juga bicara soal jumlah armada Bianglala Ciputat – Senen yang berjumlah 12 bus. Bicara pula soal pemilik Bianglala asal Magelang, yang saat ini sedang semangat mengejar proyek Amari (?) busway yang akan beroperasi pukul 8 pagi sampai 4 sore. Sempat menyinggung juga soal Mayasari Bakti yang ternyata “dikuasai” oleh orang-orang Jawa Timur. Hmmm..
Meski punya waktu 2 jam, saya kurang bisa intens mengobrol dengan pak sopir. Namanya juga dia sedang kerja. Menjawabi pertanyaan saya dengan baik dan sopan saja saya sudah senang sekali.
Namun, sempat saya tanyakan kepada beliau, “Apa ngga pegal, Pak, duduk seharian menyetir?”
Pak Budi tertawa, “Ya pegal, Bu. Stres juga melihat jalanan macet begini, tapi ya nikmati saja.”
Ya, ya.. 😀
Memang tidak ada opsi lagi selain bersabar di jalanan di Jakarta, kota nomor satu termacet di dunia. Semoga selamat di perjalanan ya, Pak Budi. 🙂