[About Indonesia] mengapa Makassar?

Selamat malam, KawaNina terkasih,

Mau tahu kenapa saya jatuh cinta kepada Sulawesi Selatan? 🙂

Oh yes, saya cinta sekali.

(courtesy of sosbud.kompasiana.com)

Jawabannya: Saya begitu terpukau pada tanahnya, masyarakatnya, terutama kulturnya. Seakan Tuhan memang sudah mentakdirkan demikian. Sekian dan terima kasih. 😀

Kidding (soal “sekian”-nya). Ini alasannya, versi singkat:

Pertama, adalah “Cinta pada pandangan pertama”, yakni ketika menjejakkan kaki di Bandara Sultan Hasanuddin, 6 Desember 2011. Tugas dari kantor, mendampingi Misi Supervisi Bank Dunia. Begitu mendarat, cuaca waktu itu hujan. Romantis. Kantor wilayah (KMW) Sulsel datang menjemput kami di Bandara. Kendaraan kami melesat membelah jalanan yang macet, diwarnai kejadian pertengkaran di jalan–anak muda, motor vs mobil. Ahahahaha.. Mirip Jakarta banget, begitu pikir saya. Mungkin karena familiar dengan kota kelahiran saya (Jakarta), saya jadi makin jatuh cinta.

Ada tiga tulisan saya usai tugas di Makassar waktu itu:
1. http://www.pnpm-perkotaan.org/wartadetil.asp?mid=4358&catid=3&
2. http://www.pnpm-perkotaan.org/wartadetil.asp?mid=4369&catid=3&
3. http://www.pnpm-perkotaan.org/wartadetil.asp?mid=4364&catid=3&

Kedua, ketegasan lelaki Makassar membuat saya terpesona. 😀

Sangat tidak mudah bagi seorang perempuan Sunda-Padang (paduan antara manja dengan keras kepala) seperti saya ini menyesuaikan diri dengan lelaki Sulawesi yang keras dan tegas. 🙂 But, no problem, saya dilahirkan sebagai pejuang. Saya bukan tipe perempuan yang mudah menyerah begitu saja, walaupun mulut ini kadang bilang, “Ampuuuun! Beteeee! Dasar lelaki menyebalkan! Aku pergi aja! Nyerah! Kapok..” hihihihi.. 😛

Banyak orang menilai bahwa orang Makassar itu kasar. Jangankan orang lain, papa sayapun berpikir begitu. Hahahaha.. Sebenarnya bukan kasar, tapi saklek. Tidak berbasa-basi. Kalau dibandingkan dengan orang Jawa dan Sunda yang pandai mengambil hati lewat sikap manis dan keramahannya, tidak begitu dengan orang Makassar–ini menurut saya pribadi. Orang Makassar itu apa adanya, to the point, tanpa basa-basi. Kalau menerima masukannya, ya bagus; kalau tidak, ya sudah. Dengan memberi masukan saja itu artinya dia sangat peduli.

Yup, lelaki Sulawesi itu mencintai tanpa kalimat cinta. Mereka tidak mengenal kata “I love you” dan memang tidak bisa mengatakannya. Bahkan yayang saya bilang, jangan selalu memikirkan cinta, masih banyak hal lain yang harus lebih dipikirkan. #Makjlebbb! 😛 *bikin nangis bombay*

https://i0.wp.com/stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/04/13348014201616051135.jpg
(Courtesy of bahasa.kompasiana.com)

Ketiga, ketulusan dan kejujuran orang Bugis-Makassar itu luar biasa. Saya tidak menemukannya di suku lain. Maaf yaaa, buat yang suku lain. 😀 Mungkin ada KawaNina yang menyanggah, “Tergantung orangnya dong, bukan sukunya.” Mungkin itu benar, tapi really, seluruh kawan saya yang orang Sulawesi itu adalah manusia yang tulus dan sangat menjaga nama baik.

Satu hal yang terlintas di pikiran saya, mereka begitu mungkin karena kultur dan filosofi “Siri’ Na Pacce” yang dianut oleh orang Makassar. Siri’ na pacce. Budaya malu. Saya yakin semua suku punya filosofi yang sama, tapi saya paling terkesan dengan siri’ na pacce ini. Jadi ini hanya penilaian subjektif (dari saya pribadi) lho ya..

Keempat, penerimaan kawan-kawan Bugis-Makassar terhadap saya (sebagai rekan kerja dan kawan) sungguh luar biasa. Apalagi saat mereka tahu bahwa hati saya “tertawan” seorang lelaki Sulawesi. Wah… saya langsung dianggap saudara… dan sungguh, itu sangat menakjubkan, saya merasa bahagia.

Salah satu penerimaan yang sangat berkesan di hati saya adalah julukan yang diberikan oleh salah satu senior di PNPM Mandiri Perkotaan. Koorkot Gowa, Bu Nurliah Ruma, menjuluki saya Daeng Kanang. Kata beliau, artinya kanang adalah cantik, menyenangkan, indah. Yayang saya juga bilang, kanang itu artinya ayu dan anggun. (Ref: http://bahasa.kompasiana.com/2011/02/22/artikulasi-nama-orang-orang-bugis-makassar-343614.html). Waduh.. Saya sempat grogi diberi julukan sehebat itu. Hihihi.. Soal ini, sahabat saya Erfina (Sub TA SIM advanced) mengatakan kalau julukan itu diberikan sesuai penilaian orang lain terhadap kita, jadi bukan kita yang membuatnya sendiri.

“Eh, tapi kan saya bukan orang Makassar dan belum bersuamikan orang Makassar,” kata saya kepada Fina waktu itu.

“Tidak perlu jadi orang Makassar atau menikah dulu dengan orang Makassar untuk mendapat julukan daeng. Itu adalah panggilan sayang dan kehormatan,” jawab Fina.

Wah.. makin grogi saya. Hehehehe.. Tapi sangat bahagia mendapat tambahan nama baru: Nina Firstavina Rasyad Daeng Kanang. 😀 Sungguh suatu kehormatan untuk saya pribadi. Meski mungkin saya tidak berjodoh dengan lelaki tadi, saya tetap bahagia sudah (pernah) menjadi bagian dalam hidup sahabat-saudara Makassar. Semoga tetap menjadi saudara-saudara saya, selamanya ya. Aamiin..

Selamat malam dan selamat beristirahat, Keluarga dan KawaNina..

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.