It seems like writing does run in the family. My oldest son made comics and my daughter wrote this:
KITA
by @rerenai
Mungkin ini memang takdir karena bodohnya diriku. Aku tak dapat melawan. Aku hanya dapat bergeming di atas lantai kamarku yang dingin, menatapnya seakan aku ini telah mati. Namun dia tahu itu tidak benar. Evan terus memaki diriku. Evan terus melayangkan tangannya yang mengepal dan mendaratkannya ke seluruh tubuhku. Aku bersumpah aku tak dapat merasakan sakitnya lagi. Namun, bukan ini yang kumau. Bukan ini yang kubayangkan dahulu.
* * *
Walaupun baru lima bulan kita menjalankan hubungan asmara, aku merasa bahwa dia adalah lelaki yang selama ini kucari. Evan namanya. Dia merupakan temanku saat SMP, namun kita tidak pernah terlalu dekat. Setelah lulus, kita masuk SMA yang berbeda.
Setelah sekitar sebelas tahun berlalu, kita bertemu lagi di suatu bioskop di bilangan selatan Jakarta. Aku sempat kaget saat dia masih mengenaliku. Setelah berbicara beberapa hal, akupun tahu kalau selama ini dia tinggal di dekat tempat kuliahku, namun Evan kuliah di tempat lain. Pada akhir pertemuan itu, kita saling tukar kontak.
Mulailah hari-hari kita saling kirim pesan singkat, membicarakan hal seputar kehidupan yang kita jalani selama ini. Bahkan kita sesekali memutuskan untuk bertemu. Dari jarang bertemu hingga sering bertemu. Hingga suatu hari dia mengajakku untuk berpacaran. Tanpa pikir panjang, aku menerima ajakan tersebut karena aku merasa telah luluh sejak kita dekat.
Hari-hari yang kulewati bersama Evan terasa sangat indah. Dia membuatku merasa bahwa dia tercipta untukku. Dia memiliki dan memberi segala hal yang selama ini kuinginkan. Tidak peduli betapa moody-nya diriku, dia tetap menyayangiku. Setidaknya itulah yang kurasakan.
Terlepas dari semua hal itu, hal yang paling indah adalah saat seperti ini. Suasana malam yang sejuk dalam kamar kosku, saat Evan mengecup bibirku.
“Aku mencintaimu, Tiara.” Ucapnya sembari tersenyum. “Percayalah padaku. Sekarang hanya ada kita, melawan pandangan dunia,” lanjutnya. Aku membiarkan Evan menghempaskanku ke atas kasur, membuatku tenggelam dalam kehangatannya.
* * *
Pendingin ruangan dalam mall ini mengigit tulangku, membuatku membeku. Aku tak percaya akan hal yang kulihat saat ini. Evan kini ada di depan mataku, sedang merangkul mesra tubuh wanita mungil yang kukenal itu. Vina. Iya, dia Vina, adikku. Hari Jumat saat aku pulang ke rumah, memang dia bilang bahwa dia akan berkencan dengan pacarnya hari ini. Jadi, yang Vina maksud adalah Evan?
Merasa terpukul, aku lekas kembali ke tempat kosku, menumpahkan segala amarah, rasa kecewa dan rasa sedih dengan menangis. Menangis semalaman. Pada sela-sela tangisku, aku berhasil mengambil handphone-ku. Aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Evan lewat pesan singkat.
Setelah beberapa menit, bahkan jam berlalu, akhirnya air mataku berhenti mengalir. Perasaan sedih itu sudah hilang, tapi kini muncul perasaan baru. Perutku mual, membuatku langsung berlari ke toilet. Aku memuntahkan semua isi perutku. Ada apa ini? Tunggu, mungkinkah aku…. Dengan sedikit rasa ragu, aku pergi ke apotik terdekat untuk membeli test pack. Aku hanya ingin memastikan, tapi semoga saja dugaanku tidak benar.
Kini aku hanya bisa melongo tidak percaya. Seluruh badanku bergetar. Aku tak tahu harus berbuat apa selain kembali menangis. Dugaanku benar. Aku positif hamil.
* * *
Sudah berbulan-bulan aku tidak pulang ke rumah, apalagi masuk kuliah. Sudah berbulan-bulan pula Evan tidak mengunjungiku, ataupun mengontakku. Aku juga tidak memberi tahu siapapun tentang hal ini, tapi aku tidak dapat menutupinya dari Vina, yang kini ada di depan mataku.
Vina duduk bersamaku di atas kasur kamar kosku. Diapun mulai menginterogasiku. Dia bertanya dari kapan aku hamil, kenapa aku melakukan hal itu, kenapa aku tidak memberi tahu keluargaku, hingga siapa yang melakukan ini padaku. Pertanyaan terakhir itu merupakan pertanyaan yang paling sulit kujawab, namun Vina terus menginginkan jawaban. Namun pada saat kuberi tahu jawabannya, Vina membatu.
“Evan teman SMP kakak itu?” Tanya Vina tak percaya. Aku hanya dapat mengangguk.
Vina langsung beranjak dari kasur dan segera mengambil handphone-nya. Dia berjalan menjauh dariku untuk menelpon seseorang. Aku hanya dapat menundukkan kepalaku, jadi aku tidak terlalu memperhatikan Vina.
Setelah selesai dengan telpon tadi, Vina menghampiriku. Dia mengangkat kepalaku perlahan. Dapat kurasakan tangannya bergetar.
“Maafkan aku, kak. Seharusnya aku tahu dari awal. Seharusnya aku tahu…kalau aku hanya orang kesekian bagi Evan, ” Vina tersenyum kecut. “Aku akan memastikan Evan bertanggung jawab penuh akan apa yang dia lakukan terhadap kamu, kak,” lanjutnya.
Aku tak kuasa menahan tangisku. Betapa beruntungnya diriku memiliki adik manis yang mengerti diriku seperti ini. Aku langsung memeluk Vina erat, sesekali berbisik bahwa aku memohon maaf padanya, bahwa aku berterima kasih kepadanya, dan betapa aku menyayangi dirinya.
Sore hari tiba, Vina pamit pulang padaku. Aku menitip salam untuk kedua orang tuaku. Dia mengangguk dan tersenyum. Siapa yang tahu detik itu merupakan terakhir kalinya aku menatap wajah manis Vina.
Tidak lama setelah Vina pulang, ada suara ketukkan di pintu kamarku. Ah, mungkin itu Vina. Barangkali dia melupakan sesuatu. Aku langsung membuka pintu, hanya untuk disambut oleh pukulan keras yang mendarat di mukaku. Aku langsung jatuh ke lantai. Saat aku melihat ke atas, ternyata orang itu Evan.
“Jadi kamu hamil, hah? Dasar pelacur,” ucapnya dengan wajah datar.
Evan menghampiriku dan berjongkok di depanku. “Kamu ingin menghancurkan hidupku, ya? Kamu kira di dunia ini hanya kamu yang harus aku urus?” lanjutnya dengan nada meninggi dan pukulan lain kembali mendarat di mukaku.
Mungkin ini memang takdir karena bodohnya diriku. Aku tak dapat melawan. Aku hanya dapat bergeming di atas lantai kamarku yang dingin, menatapnya seakan aku ini telah mati. Namun dia tahu itu tidak benar. Evan terus memaki diriku. Evan terus melayangkan tangannya yang mengepal dan mendaratkannya ke seluruh tubuhku. Aku bersumpah aku tak dapat merasakan sakitnya lagi. Namun, bukan ini yang kumau. Bukan ini yang kubayangkan dahulu.
Dahulu, aku hanya membayangkan diriku dan Evan di pelaminan. Dia menyematkan cincin emas di jari manisku. Aku membayangkan kita mengurus anak kita penuh kasih, membayangkan melihat anak kita tumbuh besar, membayangkan kita berdua menghabiskan sisa hidup bersama. Tapi kini, hanya dapat kurasakan jemari lentiknya mencekik leherku, menghalau seluruh nafasku masuk maupun keluar. Hanya dapat kurasakan pandangan penuh kebenciannya padaku. Hanya dapat kurasakan hidupku perlahan menghilang.
* * *
My comment, as a professional writer: this short story is surprisingly good. The element of surprise is there. Plot twisted. Nice one, girl. 🙂 And I’m saying this not because you’re my daughter ya! hehe..
Keep up the good work, Winnie. 🙂