Judulnya lebay? Eimmmm.. Maklum, saya ngga menemukan sinonim kata bermakna “enak banget” yang berawalan dari “B”. Jadi, ya sudah, Bombastis saja. Hehe.. Tapi sebetulnya ngga salah-salah banget kalau dikatakan demikian. Bubur Ayam (Buryam) Halte Bendungan Hilir (Benhil) memang rasanya maknyusss..!
Saya belum sempat wawancara full dengan pedagangnya sih, secara dia sibuk melayani pelanggan–yang rata-rata karyawan kantor sekitar Benhil – Sudirman, dan mahasiswa/i Universitas Atmajaya. Yang jelas, mereka lelaki dan masih muda. Paling-paling usia mereka belum sampai 30 tahunan. Bisa jadi adik-kakak.. Nantilah, demi akurasi, saya akan ngobrol dengan mereka di kesempatan selanjutnya. Sekarang saya akan cerita dulu soal rasanya si Buryam ini.
Memang sih baru 2x saya menyicipi Buryam Benhil ini. Hanya saja, saya tergoda untuk kembali membelinya besok-besok (kalau sempat) karena rasanya memang mantap.

Kalau KawaNina melihat di motornya itu.. Ada saus di botol berwarna kuning itu kan? Nah itu, saya yakin, adalah larutan kaldu. Itulah salah satu kuah yang membuat Buryam semakin gurih di mulut. Dan sepertinya pembuatannya alami. Benar-benar menggodok dari bahan alami, bukan bahan instan. Kenapa saya bilang begitu, karena saya agak-agak sensitif dengan penyedap buatan. Biasanya bikin pusing kepala atau tidak enak di lidah. Nah, makan Buryam ini, ngga ada keluhan sama sekali sih..
Yang paling saya suka adalah sate berbumbu gepuk. Terutama sate telur muda. Yummmm.. Favorit saya!! Nah telur muda ini sepertinya memang barang langka. Senin dua hari lalu (9 Juni 2014) saya masih berhasil mendapatkan sate telur muda + usus. Tapi, hari ini (Rabu, 11 Juni 2014) si mas pedagangnya bilang, telur mudanya sedang kosong. Jadi diganti dengan telur puyuh rebus. Memang sih ngga seenak telur muda, tapi not bad lah.
Btw, apa telur muda itu dibrojolkan oleh ayam muda juga? Wekekekeke.. Bukaaaan… Telur muda itu telur yang belum jadi sempurna, yang disebut juga dengan nama “uritan”. Caranya, dipanen langsung dari ayam betina yang disembelih. Telur belum jadi itu ngumpul di perut si ayam, di bagian ovarium (di atas kloaka) dan biasanya ada beberapa telur muda dari seekor ayam petelur. Bentuk telur muda itu lebih kecil daripada telur sempurna. Warnanya kuning semua dan belum bercangkang (masih lunak, dan kenyal).

Balik ke tukang Buryam Benhil.. Mereka bawa banyak jenis sate yang ditusukkan ke batang lidi. Satenya bermacam-macam jenis. Ada telur puyuh + usus, telur puyuh + ampela, telur puyuh + ati ayam, ati + ampela, usus ayam. Semuanya dibumbui dengan bumbu gepuk. Ada parutan kelapa (atau lengkuas?)-nya dikit, kemudian digoreng.
Bumbu gepuknya enak. Dan satenya semuanya kenyal, tapi gampang dikunyah. Biasanya kan namanya ampela itu suka “ngelawan” pas dikunyah. Ini nggak lho. Tetap mudah dikunyah dan dicerna. Ususnya juga cantik. *halah*
Beneran, saya doyan usus ayam. Yep, yep, okay, I know, kolesterol. Hahaha.. Alhamdulillah sampai sekarang kolesterol saya masih di ambang normal, semoga selalu normal. Hohoho.. *ngarep* Nah, karena saya doyan usus ayam (dibikin kripik, digoreng, direbus, diapain aja deh) jadinya saya tau banget bagaimana olahan usus yang enak dan mana yang ngga enak.
Nah, di Buryam Benhil ini, sate ususnya enak. Titik. 😀
Trus gimana dengan rasa buburnya? Hmmmm.. Enak bangeeeet! Begitu disendok, langsung kelihatan kekentalannya bagus, merata, berwarna putih khas beras, mengepul karena masih agak panas, bercampur bumbu kuah kuning, kecap manis, taburan seledri iris, kacang kedelai goreng nan renyah, sambal berkuah yang tidak terlalu pedas, ayam goreng suir dan kerupuk kuning yang garing–tidak berbau minyak tanah. Begitu paduan itu semua masuk di mulut, woooow.. Langsung berasa nikmatnya bubur. Apalagi, sepertinya buburnya digodok barengan santan, jadinya gurih di lidah.
Anyways, kelemahan bubur (beras) bersantan ini adalah: jangan didiamkan kelamaan! Pertama, lebih cepat basi. Kedua, kekentalannya bisa berubah, jadi mencair dan jadi ngga enak lagi. Makanya makan Buryam Benhil ini ngga boleh didiamkan sampai 2-3 jam. Langsung atau segera dimakan aja selagi hangat dan masih kental.
Oh ya, saat meramu bubur, biasanya si tukang dagang akan bertanya kepada pelanggan, “Pakai sambal nggak, Mbak/Mas? Kerupuknya dicampur atau dipisah? Satenya mau dicabut apa ngga tusuknya? Pakai kedelainya? Seledri dan bawang gorengnya pakai juga?” Jadi tetap buburnya sesuai selera pelanggan.
Kalau saya jawabannya simpel, “Pake semuanya. Saya ngga ada pantangan.” Hehehe.. 🙂

Soal harga, saya ngga terlalu paham. Apakah Rp6000 atau Rp7000 per porsi. Hanya saja kemarin Senin saya beli bubur plus 3 tusuk sate, harganya Rp13.000, dan hari ini saya menambah 2 tusuk sate saja, saya membayar Rp11.000. Bisa diasumsikan bahwa harga sate per tusuk itu Rp2.000, so bisa jadi harga buburnya saja Rp7.000 per porsi. Itu aja udah mengenyangkan lho.. Bisa bertahan tidak lapar sampai 4-5 jam lah sampai jam makan siang.
Buat KawaNina yang penasaran di mana lokasi belinya, silakan ke jembatan penyeberangan Halte Busway perhentian Benhil, lalu jalan ke bagian trotoar Benhil. Banyak tukang jajanan pasar di pinggir trotoar itu. Jalan sedikit ke arah Pasar Benhil, nah di pilar paling ujung (dekat landai jembatan penyeberangan) biasanya tukang bubur itu mangkal. Rombongnya ditumpangkan ke bantalan boncengan motornya.
Edited, tambahan info, 12 Juni 2014:
Tadi pagi saya berkesempatan ngobrol sedikit dengan tukang buburnya, tapi saya lupa menanyakan namanya, hadehhh.. Rupanya bukan adik-kakak, melainkan paman dan keponakan. Mereka asal Pekalongan. Baru dua tahun terakhir mereka mangkal di Benhil sebagai tukang bubur. Mereka tinggal di daerah Setiabudhi, ngga jauh dari Benhil memang. Biasanya mereka belanja di sore hari, menyiapkan buat dimasak subuh keesokannya. Kemudian mereka jalan ke Benhil dan mulai buka lapak antara pukul 05.30 – 06.00 WIB.
Begitulah info tambahannya. 🙂
Okay, selamat menikmati.
Leave a Reply