Found this 2002 article in “Wanita Muslimah” yahoo group. Everything written here is true. I am also the witness, as I am her niece. She’s my father’s younger sister. My aunt. One of my inspirations, because she’s a strong and tough woman.
Unfortunately, the article was written a long time ago, so it didn’t record the sadness she experienced in the following years–the passing of her youngest daughter (my cousin Zuce) and her grandson Althaf (Zuce’s son). And yet, my aunt stay strong. Those painful loss didn’t break her. That’s why she’s my inspiration. I love you, Tante Ina.. ❤
Profil – Zuraida Rozalina Yazir Wakil Rakyat yang Mantan Sopir Truk
ANDA tidak akan pernah berpikir bahwa perempuan adalah makhluk lemah, jika mengenal Zuraida Rozalina Yazir.
Ia satu-satunya perempuan anggota komisi A DPRD Kota Bandung dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini, mewakili sosok perempuan Indonesia yang harus berjuang sendiri untuk hidupnya, tanpa menggelendot di bahu seorang pria.
PEREMPUAN berkerudung kelahiran Bandung 49 tahun lalu, atau tepatnya tanggal 8 Desember 1953 ini, akrab dipanggil Bu Lina. Sejak bercerai dari suaminya (Yayat Rukyat) tahun 1983, telah menghidupi sendiri ketiga putra putrinya, dengan semangat seorang fighter sejati.
“Saat itu yang terpikir di benak saya adalah, bagaimana saya bisa memberi makan dan menyekolahkan ke-3 anak saya, tanpa membebani orang lain,” tutur hajjah penyandang sabuk coklat karate ini.
Dedikasinya pada ketiga anaknya memang mengagumkan. Bayangkan, setahun setelah perceraiannya, bekas mahasiswi Sospol Universitas Parahyangan ini menjadi penunggu toko batu opal di Pulau Dewata. Padahal, dengan ibundanya yang menjadi salah satu hakim Agung di Mahkamah Agung RI saat itu, sebenarnya hidup bagi Rozalina bisa menjadi sangat mudah.
Namun anak ke-7 dari 8 bersaudara ini, justru memilih tantangan hidup yang keras untuk dijalaninya. Tidak tahan karena harus berjauhan dalam waktu yang lama dengan anak-anaknya, Rozalina meninggalkan pekerjaannya di Bali dan pulang ke Bandung. Tepat 4 tahun setelah predikat janda-nya, Rozalina bekerja sebagai bagian ekspedisi sebuah CV penyalur suku cadang. Pekerjaan barunya itu menuntutnya untuk ikut juga menyetir truk kontainer dengan trayek trans Sumatra – Jawa – Bali!
“Jadi sopir truk saat itu, meski tetap harus sering meninggalkan anak-anak, tapi frekuensi kebersamaan dengan mereka lebih banyak dibandingkan waktu saya bekerja di Bali.”
Bermodalkan Surat Izin Mengemudi (SIM) B1 Umum yang diperolehnya tahun 1993, perempuan berdarah campuran Bandung-Bukit Tinggi ini, dalam pekerjaannya saat itu juga harus menghadapi semua kendala yang pernah dialami setiap sopir truk trans Sumatra. Di antaranya, mengganti sendiri ban truk yang pecah di tengah jalan, termasuk menghadapi hadangan “bajing luncat”.
“Ha…ha…ha…itu pengalaman tak terlupakan. Siapa sih yang tidak deg-degan dihadang perampok ? Tapi bagaimanapun, saya tetap harus bertanggung jawab atas keselamatan barang-barang mahal yang sedang saya antarkan saat itu.
Jadi saya mencoba membuka dialog dan menyentuh sisi kemanusiaan perampok itu, dengan mengatakan saya hanya seorang karyawan yang bertugas mengantarkan barang saja,” ujarnya saat menceritakan pengalaman luar biasa itu.
“Sebenarnya itu tidak mudah. Uniknya, waktu saya memperlihatkan kartu keanggotaan partai saya (saat itu masih PDI), perampok itu akhirnya hanya mengambil uang kami saja, dan tidak jadi merampas truk serta isinya.”
Ketika ditanggapi dengan canda, tentang kemungkinan si perampok itu termasuk simpatisan PDI, Rozalina tertawa renyah.
Rozalina memang patut bersyukur atas kekuatan mental dan ketangguhannya itu, karena kemudian dua hal penting tersebut kerap menjadi nilai plus-nya sebagai anggota legislatif.
**
IBU dari Zulaikha Rahma, Faisal Herupradata dan Zuce Ruhiyana ini, sering dikira bukan orang Bandung, karena nama dan pembawaannya yang “keras”.
Dengan bapak yang pensiunan tentara dan ibu yang pernah menjabat sebagai Kepala Pengadilan Negeri Manokwari Irian Jaya ini, pembawaan keras dan tegas Rozalina, seakan tidak matching dengan kesundaannya.
“Oh saya sangat nyunda. Hanya karena papap asal Bukit Tinggi, nama saya jadi berbau Sumatra. Tapi mamah saya asli Bandung. Kalau ditanya kampung halaman saya, ya itu yang di Jalan Beruang 34 Bandung,” jelasnya bersemangat.
Ia lahir dan besar di Bandung, sekolah di SD Nilem Buah batu, terus ke SMP Negeri 11 Bandung, dilanjutkan ke SMA Negeri 5 yang dan akhirnya masuk Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). “Kalau soal kepribadian saya, yaa mungkin karena saya dididik sangat keras oleh kedua orangtua saya,” tambahnya.
Kuliahnya yang hanya sampai semester 5 di Sospol Unpar membuat Rozalina giat memacu semangat belajar anak-anak dan cucunya. “Saya ingin mereka mengambil pelajaran dari pengalaman hidup saya dan mau bersekolah setinggi-tingginya,” harapnya.
“Yaa.. itu kan gara-gara mamah saya takut perempuan tomboy seperti saya waktu itu, tidak ‘laku’ dan jadi perawan tua. Akhirnya tahun 1973, saya didorong untuk menikah. Pacarannya saja cuma 4 bulan. Begitu hamil anak pertama, saya langsung berhenti kuliah,” jelasnya.
**
PEREMPUAN yang pada masa pemilu tahun 1999 lalu menjadi salah satu pembina satgas wanita Bandung Raya PDIP ini — karena ketegasan dan ketangguhannya–kini menyandang predikat anggota dewan yang “galak” di antara ke 44 anggota DPRD Kota Bandung lainnya.
Rozalina dengan busana muslim-nya, sering mengecoh lawan bicaranya. Peserta rapat kerja ataupun dengar pendapat Komisi A dari kalangan manapun, akan dikejutkan dengan sikap tegasnya terhadap aturan perundang-undangan. Mereka yang berpikir bahwa kalangan legislatif bisa terbeli dengan uang dan mudah dipengaruhi, akan berpikir keras untuk “menaklukan” Rozalina.
“Jangan karena saya perempuan, orang menyangka saya bisa gampang dibujuk dan dipengaruhi, atau sepakat kepada hal-hal yang tidak sejalan dengan nurani saya dengan alasan kedekatan.” tegasnya.
Pada kenyataannya, Rozalina memang selalu menunjukkan konsistensinya pada hukum dan peraturan yang berlaku.
Ketika peraturan mengharuskan seorang anggota dewan tidak merangkap jabatan sebagai pimpinan suatu perusahaan, ataupun tergabung dalam instansi manapun, dengan ikhlas Rozalina membekukan perusahaan miliknya sesaat setelah terpilih.
Perusahaan yang bergerak di bidang general supplier yang dirintisnya mulai nol besar tersebut, “dikorbankannya” demi kepatuhannya kepada hukum.
“Itu kan konsekuensi saya sebagai wakil rakyat. Saya punya tanggung jawab moral kepada masyarakat yang telah memilih saya. Kalau saya tidak bisa maksimal menjalankan tugas-tugas saya sebagai anggota dewan karena punya bisnis yang harus diurusi, selain melanggar aturan, saya juga berarti telah mengkhianati kepercayaan rakyat,” ujarnya serius.
Saat ini ketika masyarakat mulai peka dan kritis menilai wakil-wakilnya di DPR, sikap tegas Rozalina yang juga kritis terhadap kinerja para pejabat–termasuk kepada kinerja rekan-rekannya sesama anggota dewan– membuat nenek 2 cucu ini disegani karena kekuatannya berpegang teguh kepada aturan.
Sayangnya, julukan “galak” yang disandangnya tinggal julukan. Kegalakan Rozalina seakan tenggelam di antara sikap kompromistis rekan-rekan sejawatnya. Apa yang dikorbankan dari sebuah sistem demokrasi adalah ketika suara minoritas harus mengalah kepada suara mayoritas. Kegalakkan Rozalina yang berarti “teguran” kepada mereka yang melanggar aturan dan hukum, seringkali hanya berwujud suara minoritas yang harus mengalah pada kesepakatan, kesepakatan atas dasar voting.
“Saya banyak mempertanyakan adanya kesalahan dalam sebuah sistem, atau bahkan pelanggaran-pelanggaran aturan yang dilakukan para eksekutif, bahkan juga para legislatif itu sendiri. Namun terkadang suara saya hanya bergema, balik lagi ke saya, tanpa ada solusi atau kelanjutannya,” sesalnya.
Perempuan yang terlanjur kecanduan rokok sejak masih di sekolah dasar ini, akhirnya hanya mampu berharap bahwa masyarakat tidak akan memukul rata penilaiannya bahwa anggota dewan saat ini memiliki kinerja yang buruk. Rozalina adalah satu dari sedikit anggota DPRD Kota Bandung yang mematuhi jam kerja seorang anggota dewan.
“Kalau tidak ada agenda kunjungan kerja atau peninjauan langsung ke lapangan, saya harus bersikap profesional dengan tetap datang ke kantor (gedung DPRD- red) sesuai jam kerja yang dari jam 8 sampai jam 4 sore, 5 hari dalam seminggu. Negara kan membayar kita untuk itu. Mekanisme kerja anggota dewan kan terkoordinir dan terprogram, jadi agenda hariannya sudah jelas,” imbuhnya.
Kedisiplinannya itu membuat Rozalina mudah ditemui oleh warga yang akan menyampaikan aspirasinya dengan datang ke gedung DPRD Kota Bandung.”Bagaimana aspirasi warga bisa tertampung, jika anggota dewan hadir hanya pada acara-acara tertentu saja, seperti rapat paripurna, rapat pansus/panmus atau rapat fraksi saja. Jangan mentang-mentang jadi anggota dewan, bisa datang seenaknya saja. Sementara, masih ada warga yang berunjuk rasa datang ke DPRD dan anggota dewannya malah selalu tidak di tempat untuk menyerap aspirasi mereka, sebagaimana tugas pokoknya.”
“Masak sih komunitas sekelas anggota dewan harus dibuatkan jadwal piket. Kapan boleh bolos kapan wajib stand by. Kan tidak etis,” kritiknya.
**
PUTRI dari Jazir Tanzil dan Jamningsih Jazir, SH ini mengawali karir politiknya di PDI sejak tahun 1992 sebagai anggota satgas PDI Jabar dari Pengurus cabang Astana Anyar.
Rozalina bahkan sempat dikeluarkan dari perusahaan tempatnya mencari nafkah pada tahun 1996, karena aktivitasnya di partai berlambang kepala banteng tersebut kian padat setelah kasus 27 Juli, yang kemudian menempatkannya di kubu PDI Perjuangan.
Setelah disibukkan dengan tugas-tugasnya sebagai anggota komisi A DPRD Kota Bandung, nenek dari Aletha Sahisha dan Althaf Taba Noor Illahiya ini, masih memiliki beberapa obsesi. “Saya ingin melihat program pemberdayaan perempuan di negri ini berhasil. Saya ingin melihat perempuan-perempuan kita selain memiliki kesetaraan dengan kaum lelaki dalam banyak aspek pembangunan, juga menjadi lebih pintar dan bijak, dalam menjaga citra dirinya, dalam membesarkan calon-calon pemimpin bangsa ini, dan dalam tanggung jawabnya terhadap masa depan bangsa ini. Saya juga sangat mendambakan persatuan bangsa yang sesungguhnya. Saya rasa, kita semua bertanggung jawab atas munculnya bibit- bibit disintegrasi. Bukan apa-apa, ini adalah masalah warisan bagi anak cucu kita nanti, yang benar-benar harus kita jaga,” ujarnya bijak.
Di luar sosok galaknya sebagai anggota dewan, ia tetap menjadi seorang ibu dan nenek dengan “ritual” kesehariannya.
“Saya selalu menyempatkan memandikan cucu di pagi hari. Biar ibunya tidak berangkat kerja kesiangan. Dan lebih penting lagi, biar lebih dekat sama cucu. Karena ibunya, putri saya itu bekerja di pemkot Bandung. Sebagai Pegawai Negri Sipil dia harus disiplin dan tertib hukum. Jangan sampai karena ibunya anggota dewan, anaknya bisa santai-santai kerja di pemkot. Justru sebaliknya, saya akan malu besar kalau anak saya tidak disiplin.”
Selain memanjakan cucu, Rozalina yang dimasa mudanya gemar bola volley dan aerobik ini, sekarang rajin melakukan senam pernafasan untuk menjaga staminanya.
Ketika ditanyakan niatnya untuk menikah kembali, dengan gaya kocaknya Rozalina menjawab, “Kalau setelah 49 tahun Tuhan menentukan saya harus menikah lagi, kenapa tidak?
Nah, ada yang siap punya istri anggota dewan yang galak?
Suhe “PR”/Ave