Ketika saya bersedih, seorang sahabat baik saya menceritakan dua cerita berikut:
Pertama, suatu ketika ada seorang laki-laki yang sedang kesusahan, mendatangi rumah orang paling kaya di kotanya. Si orang kaya ini dikenal biasa memberikan bantuan kepada yang membutuhkan. Seorang dermawan, mungkin. Saat mereka bertemu, si laki-laki yang sedang kesusahan berkata, “Tuan, bantulah saya. Sungguh saya sedang sangat membutuhkan bantuan.”
Tapi yang terjadi, si orang kaya itu malah menghardik dan mengusirnya, “Pergi sajalah kamu. Saya tidak memberikan bantuan begitu saja kepada seseorang. Saya hanya memberi bantuan kepada mereka yang cacat dan buta.”
Tertegun, si laki-laki yang sedang kesusahan itu membalas, “Baiklah saya akan pergi. Rupanya sayalah yang buta. Seharusnya saya tidak datang meminta bantuan kepada Tuan. Seharusnya saya hanya datang meminta bantuan kepada Allah saja.”
— cerita dia ini, membuat saya tersenyum. ^_^
Kedua, ada seorang laki-laki sholeh meninggal dunia, dan karena amalannya di dunia luar biasa, Allah menghadiahinya surga sebagai tempat kembali. Namun, sebelum masuk ke surga, ia berdiri di samping Allah dan bertanya, “Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku, perjalanan hidupku bersama-Mu.”
Allah kemudian membawanya ke sebuah hamparan padang pasir. Ada dua pasang jejak kaki di pasir tersebut. Allah berkata, “Sepasang kaki itu milik-Ku dan satunya lagi milikmu.”
Si laki-laki sholeh itu mencermati dan menelusuri, kedua pasang jejak kaki itu selalu beriringan ke manapun arahnya. Namun di beberapa tempat, kedua pasang jejak itu terputus, menjadi sepasang jejak kaki saja. Beberapa meter berikutnya kembali menjadi dua pasang jejak kaki.
Si laki-laki sholeh itu berhenti di jejak yang sepasang tersebut.
Ia lantas bertanya, “Ya Allah, di sini adalah masa ketika hamba sedang sangat kesulitan. Mengapa Engkau meninggalkanku, ya Allah?”
Namun Allah tersenyum dan menjawab, “Kamu bicara apa. Justru saat itu adalah ketika Aku menggunakan kedua tangan-Ku untuk mengangkatmu.”
— sampai sini, saya agak bingung.
Saya bertanya kepada sahabat saya itu, “Jadi jejak kaki terakhir itu milik Allah?”
“Ya,” jawab dia. Lalu melanjutkan, “Jadi bukannya Allah meninggalkan dia, melainkan Allah mengangkatnya ketika ia terjatuh dan merasa tak sanggup melanjutkan perjalanannya.”
Sampai sini, air mata saya tumpah setumpah-tumpahnya.
Dari dua cerita itu sahabat saya mengingatkan: ketika kamu kesusahan, mintalah hanya kepada Allah. Dia tak pernah mengecewakan siapapun hamba yang meminta pertolongan. (Ingat, Allah adalah sebaik-baik pemberi pertolongan).Dan ketika kamu kesusahan, Allah tidak meninggalkanmu, melainkan mengangkatmu ke derajat yang lebih tinggi.
Masya Allah. Subhanallah. Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah, telah menemukan saya dengan manusia-manusia sholeh yang bisa saya panggil sebagai sahabat jiwa. Mereka–sahabat-sahabat–yang tak berpaling ketika saya terjatuh, seakan menjadi tanda bahwa Engkau juga tak pernah berpaling ketika saya terjatuh. Mereka yang menguatkan saya, seakan menyiratkan bahwa Engkau juga sedang menguatkan saya.
Thank you. I love Thee, O, Allah.
Note:
Thank you for the stories, Isky. I rewrite this in bahasa Indonesia. You might not understand what I wrote entirely, but you can always google-translate it. Haha.. ^_^ But it’s pretty much about what you told me a few days ago–the day I cried. But those tears are grateful tears.. Thank you. I adore you and I cherish our friendship so much. I *heart* you. ❤
A friend in need is a friend indeed. ^_^
tertegun,.. tersentuh,.. semoga kita senantiasa menjadi orang yang tidak pernah lupa kepada Allah dalam keadaan apapun. Aamiin
Betuuul… Semoga kita jadi manusia yg pandai bersyukur. Aamiin..
kisah yang dashyat
Yep.. makanya aku share aja di blog juga..
Minta Sama Allah
sepakat. 🙂