Rekans, sudah lama saya tidak mengisi blog ini. Mohon maaf.. 😦
Langsung saja yaa. hehe..
Seorang kawan mengatakan, salah satu pekerjaan paling melelahkan di dunia adalah menjadi editor. Lelah otak. Lelah mata. Lelah batin. Begitu mereka bilang. Saya cuma nyengir. Maklum, saya sendiri adalah seorang editor.
“Bukankah sulit jadi editor atau redaktur? Lebih enak jadi reporter, kalau salah pun ada yang mengedit dan semua adalah tanggung jawab redaktur/editor,” ujar teman saya.
Saya mengangguk. Memang betul. Di dunia jurnalistik, tugas sebagai reporter biasanya “lari-lari” di lapangan, mengumpulkan data, kalau perlu ke TKP, lalu konfirmasi ke narasumber yang bersangkutan, bikin transkrip–kalau perlu nyontek dari teman reporter lain (haha..), ketik, selesai, pulang. Sisanya adalah tanggung jawab redaktur masing-masing desk.
Itu reporter pada umumnya. Saya ulangi, sambil di-bold tulisannya: REPORTER PADA UMUMNYA.
Lalu bagaimana reporter yang tidak pada umumnya? *nyengir*
Sejak awal saya bergabung di koran Harian Jakarta, mulai dari redaktur (alm. Heru Suprantio, dan Pak Chairil Makmun) sampai Pemred (Albert Kuhon) sudah rajin mencereweti saya, bahkan “brainstorming” agar saya tidak jadi reporter pada umumnya. Entah kenapa dan apa yang dilihat oleh para senior saya ini dalam diri saya. Mungkin mereka melihat potensi, makanya sayang kalau hanya jadi reporter biasa-biasa saja. *ge-er*
Tapi, ya begitu konsekuensinya. Bisa dibilang saya digembleng habis. Saya ngga usah cerita bagaimana sepak terjang saya di lapangan karena dari kantor “dikerjai”, seperti disuruh masuk ke gedung DPR tanpa ID card/name tag. hahaha.. (dasar Redpel gokil!), saya cuma mau cerita dari sisi tulisannya saja.
Nah, redaktur-redaktur saya waktu itu ketat sekali mengajarkan saya menulis yang baik. Mulai dari ejaan (tata bahasa), rasa bahasa sampai gaya bahasa.
Setiap hari sehabis liputan dan kelar ngetik berita, saya “dipaksa” duduk di samping redaktur agar bisa melihat apa saja kesalahan saya dalam menulis.
Saya dipetuahi, “Jadilah reporter yang berpikir seperti redaktur.”
Artinya, dalam menulis berita sesingkat apapun, saya PANTANG (malah nyaris HARAM) mengabaikan tata bahasa dan rasa bahasa (sedangkan gaya bahasa itu muncul sendiri, ngga harus diajari). Ajaran itu saya pegang teguh sampai akhirnya saya menjadi editor.
Guess what: IT HELPS A LOT!! And I mean, A LOT.
Dalam hati saya pribadi, siapa nyana kalau pengalaman saya sebagai jurnalis ini akhirnya mengantarkan saya begitu jauh sampai menjadi penulis buku segala, walaupun baru sebatas hasil gawe bareng-bareng teman2 blogger (one day, I’ll write my own book—put it in my bucket list). Saya juga dipercaya mengedit beberapa buku keluaran pemerintah, bahkan mengedit-mentranslasi di publisher lain (freelance).
Tapi pengalaman paling dahsyat adalah ketika saya ditugasi menjadi editor untuk situs dimana saya bekerja sekarang. Pasalnya, koresponden yang saya hadapi sekitar 95%-nya BUKAN REPORTER/Wartawan. Bayangkan!!
Mengedit tulisan dari seorang koresponden yang mantan reporter saja kadang bikin saya harus membaca kalimatnya berulang-ulang karena rasa bahasanya janggal. Begitu ketemu tulisan yang ditulis oleh seorang koresponden yang tata dan rasa bahasanya bagus, ditambah gaya bahasa yang khas, saya mendadak sangat bersyukur. Alhamdulillah! Sampe hampir jumpalitan dari kursi, saking senangnya.
Lebay ya? Tapi bener kejadian tuh! hahaha.. Hari itu saya menerima tulisan artikel dari seorang mantan wartawan Pikiran Rakyat. Tulisannya bagus, ejaannya bagus, alurnya ciamik. Saya langsung berdiri dari kursi dan berteriak, “NAH!!! BEGINI DONG KALAU NULIS!!”—membuat rekan kerja saya menoleh kaget, lalu ngakak.
Maklum, di hari lain, biasanya saya mengedit tulisan sampai kepala saya tidur-tiduran di meja, sambil berpikir, “Iki tulisane maksudte opooooo sehhh..”—mendadak berbahasa Jawa, padahal saya orang Sunda! hahahaha..
However, berkat itu semua, saya juga belajar menjadi seorang ghostwriter, tidak sekadar editor. Dan, percayalah, menjadi seorang ghostwriter itu susah, jenderal!! :p
Nah, sampai di sini, saya mengangguk-angguk. Ya, mungkin kawan saya yang mengatakan bahwa pekerjaan paling melelahkan adalah editor itu ada benarnya. Dan, lucunya, saya sedang menjalaninya, tapi MENYUKAINYA. hehehe.. Guess that I’ve passed my own challenge. Apalagi setiap hari tingkat kesulitan untuk mengedit tulisan (terutama mengerti sebuah tulisan) itu, entah kenapa, semakin meningkat juga.
Oh my God, doesn’t anybody of my contributors learn?? :p
Tapi yang bikin hati optimis adalah para koresponden/kontributor yang saya bimbing dari jauh (hanya lewat email dan blog, karena tidak ada budget untuk pelatihan) juga menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam menulis. HUHUYYY!!
Inti tulisan saya di sini adalah, teman-teman di sini kan blogger–minimal pembaca blog lah, hehe.. Nah, meski kelihatannya remeh, tapi cobalah menulis yang baik dari segi tata bahasa (minimal itu tuu!)
Setidaknya, berniatlah untuk membuat editor Anda tersenyum gembira, karena itu bisa meringankan bebannya. Hahahaha.. *yes, fellow editors, I hear ya!* 😀
Harus disadari bahwa editor tidak hanya mengedit satu artikel Anda saja, melainkan BANYAK artikel dari penulis lain. Jadi, alangkah sangat membantu (halah, lebay bener bahasa saya) kalau penulis mau susah sedikit belajar menulis lebih bagus dari segi ejaan dan alur tulisan.
Okey, segini dulu yaa tulisan dari saya hari ini. See y’all again soon, I hope.. Peace! 😉