Alarm.
Tangan saya meraih hape dan menggesernya ke kata “dismiss”. Saya lebarkan mata, mengusap wajah, lalu melihat ke sosok lelap di kanan saya. Punggungnya naik turun, bernapas tenang.
“Baby, wake up. Waktunya qiyamul lail,” desah saya di telinga pak suami sambil memeluk dia dan mengecup lembut pelipisnya. Yang dikecup malah menggeliat dan menarik selimutnya sampai kepala.
Tertawa, saya ulangi kalimat tadi, berulang kali seraya menekan, menggelitik area leher, punggung, pinggang. Pak suami mulai mengeluarkan suara berat, enggan, “Ng.. Alright, alright..”
Sekali lagi saya memeluk dia sayang. Tangan saya di pinggangnya, bibir saya di lehernya–kira-kira. Kan ketutup selimut. π Saya sengaja meniup napas lebih keras di bagian lehernya, di titik cumbu kesukaan dia. Semenit. Pak suami mulai kegelian, merasakan tiupan hangat dari mulut saya. Haha.. Dia bergoyang enggan, mencoba melepaskan diri. Saya terkikik. Saya suka menggodanya begitu.
Saya turunkan selimut dari kepalanya dan kembali mengecup pelipis Pak suami, sebelum akhirnya melepaskan lengan dan bangkit dari ranjang. Saya duduk di pinggir tempat tidur, mencari sandal kamar. Belum sempat saya berdiri, Pak suami setengah membalik badan, menahan lengan. Suaranya manja, “Baby..”
Hng! Tau deh. Dia pasti jadi horny gegara saya kecup lehernya tadi. Hahahaha.. Istri selalu tau bagaimana cara “membangunkan” lahir batin suami, bukan? π
“Aissss nanti ajaa.. Abis tahajjud. It’s a promise,” saya tertawa kecil sambil kembali memeluk dia. Kali ini dia menyambut tawa saya dengan bibirnya. Semenit. Dua menit. Wahhh gawat! Kalau tidak dihentikan sekarang, ngga akan berhenti ini mah. π
“Aduuuh, come on. Not now. Anak bandel,” saya tergelak, menghindar ciuman dan jelajah tangannya lebih jauh.
Syukurlah, kali ini Pak suami mau bekerja sama. Tidak seperti kemarin malam. Dan malam sebelumnya. Dan sebelumnya lagi. Wadaw, sudah 10 malam absen tahajjud gegara menjalankan ibadah yang lebih wajib. πππ
Tampaknya Pak suami juga sepikiran dengan saya. “Baiklah, dini hari ini kita rehat dan mojok sama Allah dulu, bareng kamu,” ujarnya.
Saya tersenyum lebar, mengecup pipinya dan berbisik, “Awesome idea. I love you, Baby.”
“I love you more,” jawab dia.
“I love you the most,” sahut saya lagi.
“You better,” katanya lagi, membuat saya terkekeh. Itu empat kalimat selalu kami ucap bergantian, siapa pun yang memulainya.
Saya bangkit dari tempat tidur, menuju kamar mandi. Pak suami menyusul di belakang saya, langsung menyalip ke toilet.
“Iiih iiih.. curang! Aku kan bangun duluan,” saya cemberut.
Dia tertawa, “Kamu geboy sih.” Tapi dia tidak menutup pintu kamar mandi, jadi saya menyelinap ke balik pintu, menuju area shower dan menyalakan airnya, kecil.
“Kamu mau mandi?” tanya dia.
Saya, masih tetap manyun manja, “Ngga ah. Kalau aku mandi, kamu pasti ikutan, dan akhirnya kita nge-skip tahajud lagi, kayak berapa malam lalu.” Dia terkekeh. Saya berwudhu. Selesai, saya melihat pak suami terkantuk-kantuk duduk di toilet.
Saya ciprati wajahnya dengan air wudhu. Matanya terbuka, agak kaget, tapi pastinya dia sudah mengira saya akan menciprati wajahnya. Saya memang suka begitu ke dia. Sekarang ekspresi pak suami malah sengaja seakan mengantuk berat. Matanya setengah terpejam dan mulutnya terbuka, sok-sok ngorok gitu.
“Ya Allah, jelek banget kamu, Baby. Minta cium, ya?” goda saya. Spontan ia mengerucutkan mulutnya, minta cium!
Saya tergelak, sambil membasuh wajahnya sekalian dengan air wudhu yang masih ada di tangan kanan, “Nanti ajaaaa.. Jangan mancing aku deh, kalau aku terpancing, gagal tahajud lagi ini.”
Saya buru-buru ngacir ke luar kamar mandi, meninggalkan pak suami yang tertawa geli, tapi sempat-sempatnya dia menepuk nakal ‘bumper’ belakang saya, sambil berseru kecil, “Soon, Baby. Soon! You’ll see..” Saya ngakak.
Selagi menunggu dia wudhu, saya bersihkan dan gelar sajadahnya. Saya lipat rapi sarung di bagian kaki, dan kopiah putih di bagian kepala. Tasbih peraknya, saya letakkan di meja kayu kecil yang terletak di pojok kanan, tak jauh dari sajadahnya. Pun Al-Qur’an, sudah saya letakkan di sana. Kode buat pak suami, dia pasti memahami.
Giliran saya menggelar sajadah untuk diri sendiri, di belakang sajadah dia, agak ke kanan. Saya kenakan mukena sutera berwana gading. Tak lama, pak suami keluar dari kamar mandi. Ia menatap saya sebentar, lalu geleng-geleng sambil tersenyum. Dia mengerti kenapa saya mengenakan mukena ini.
Satu dekade lalu, pak suami memberikan mukena gading saat melamar. Tak hanya cincin emas dengan 3 karat berlian yang ia sematkan di jari saya hari itu. Saya simpan baik-baik mukena gading ini, meski setiap tahun ia membelikan yang baru. Saya selalu mengenakan mukena ini sebagai pengingat.
“Alhamdulillah. Happy anniversary, Love. Thank you for having me,” ujarnya lembut, sambil mengecup dahi saya penuh sayang.
“Alhamdulillah.. Thank you for taking care of me,” balas saya.
Dia menggeleng, “No. Thank YOU. Kamu, yang selalu mengurus aku. Saat aku sehat, saat aku sakit, saat aku gembira, saat aku gusar, saat aku berduit, dan saat aku bokek berat, kamu tetap ada di sampingku, menggembirakan aku, menguatkan aku, menyejukkan aku, menentramkan aku.”
Ia merentangkan lengannya dan saya segera sembunyi di dalam peluknya. Kedua lengannya melingkar, erat, kepalanya bersandar lekat di kepala saya, the way I love it. His embrace is my home. Menyenangkan.
Kemudian kami melepaskan pelukan, mulai shalat. Sepertiga malam terakhir ini terasa amat syahdu. Dada saya berdebar kencang setiap mendengar suara takbirnya, membuat darah berdesir. Seperti bercinta, tapi lebih transendental. Menawan. Mengalun. Mengharukan.
Kesadaran saya berangsur pulih begitu ia berucap salam. Saya bergeming, sedikit tak sabar menunggu rangkaian puja-pujian untuk Allah dan Rasulullah. Kembali saya larut dalam doa indahnya. Usai ia tutup dengan doa sapu jagat, saya menggeser tubuh saya ke sampingnya.
Pak suami menoleh–he understands the drill. Dia menepuk bahunya, mengizinkan saya meletakkan kepala di sana, lalu ia mulai melantunkan ayat Qur’an. Buru-buru saya meraih Qur’an di meja kayu sebelah kanan kami. Dia tak perlu Qur’an untuk mengaji. Seluruh 30 juz melekat lengkap di ingatannya. Saya yang perlu.
Tanpa bicara, saya membuka Qur’an, “bertanya” surat apa yang dibaca. Pak suami memelankan suara sambil membolak-balik halaman. Telunjuknya berhenti di nama surat yang dimaksud, saya mengangguk, dan dia melanjutkan mujawwad-nya. Saya mendengarkan, dan sesekali mengoreksi ketika ada tajwid yang meleset. Setiap kali dia mengikuti koreksian, saya kecup pipinya, dan dia tersenyum, terus mengaji sambil menempelkan hidungnya di dahi saya.
Sampai sini, saya menghela napas. Berat dan panjang. Kembali ke realitas. Saya single. Dan sosok Pak suami yang saya tulis di dua episode terakhir ini adalah sebuah asa. Jika bisa dibilang, doa. Romansa pernikahan seperti itu yang tak henti saya pinta kepada Allah.
Utopis? Mungkin, tapi tak ada yang tak mungkin bagi Allah. Satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah terus berdoa sambil memantaskan diri saya, agar Allah akhirnya mengirimkan sosok seperti itu ke dalam hidup saya, sebagai imam terakhir saya di dunia dan akhirat. Semoga. Hanya bisa berharap kepada pemilik semesta. π€π
Semoga doa sederhana ini kelak menjadi kenyataan. Aamiin.. ππ