[Wisdom] Pak Saidi, Cermin Hidup Bersemangat dan Penuh Syukur

Dua kali ketinggalan Bianglala 76 pagi ini ternyata sarat hikmah. Saya jadi berkesempatan ngobrol dengan Si Babeh, tukang parkir Indomaret Pupan Ciputat (THC 2). Selama saya jadi regular passenger bus kota yang nunggu di “Halte Pupan” ini, Si Babeh inilah yang paling menyenangkan. Full senyum, full ramah, full service. Beliau selalu bertegur sapa dengan setiap angkutan umum yang lewat. Beliau juga sigap menjawab, dengan sopan dan ceria, setiap pertanyaan pedestrian yang melintas.

Dan, karena paham semua orang yang menunggu di halte adalah orang-orang kerja, beliau pasti berseru semangat, “Ya, yang Damri, Damri!” agar orang yang hendak ke Bandara Soekarno Hatta segera bersiap dan sigap naik ke bus.
Begitu juga bus lainnya, “Yang 102! 102!” Ketika melihat Koantas Bima 102 Lebak Bulus – Kp. Rambutan hendak melintas. Atau “Yang Bandung, Bandung!” (Primajasa Lb. Bulus-Bandung). Atau “20, 20!” (Kopaja AC 20 Lb. Bulus – Senen). Atau, favorit saya, “Ya, 76, 76!” (Bianglala 76 Ciputat-Senen) dan “Yang Rawamangun, 16, 16!” (Bianglala 16 Lb. Bulus-Rawamangun). Dan seterusnya.

Si Babeh juga selalu sigap memarkirkan mobil atau motor. Merapikan susunan motor, seraya bertegur-sapa dengan regular customer, pemotor atau pemobil. Suaranya lantang dan perintah parkirnya jelas. Membuat saya kagum, karena itu artinya meski hanya seorang tukang parkir, ia bekerja dengan hati dan bersungguh-sungguh.

“Yaaah Ibu, tadi 76-nya udah lewat. Saya cari-cari Ibu tadi kagak ada, ke mana, saya bingung dah,” kata Babeh–saya memanggilnya Pakdhe.

“Tadi saya beli tisu basah dulu, Pakdhe. Ya udah gapapa, tunggu berikutnya aja,” jawab saya setengah terbahak. Ya, daripada bete, mendingan saya duduk dan sesekali mengobrol dengan Pakdhe.

Saidi, ternyata begitu nama beliau. Warga asli Ciputat yang pindah ke daerah Cikarang demi menuruti kemauan istrinya, yang konon capek tinggal di rumah bertingkat mereka di Ciputat. “Akhirnya saya jual dah rumah di sini dan bangun rumah di atas tanah warisan punya istri saya di daerah Cikarang,” tutur dia. Kerja sama suami-istri yang baik. 🙂 Menurutnya, setiap Senin sampai Rabu, ia selalu ke Ciputat, tinggal bersama ibunya yang sudah berusia 80-an tahun itu. Sisanya, Kamis sampai Minggu, ia kembali ke Cikarang, rumah di mana istri dan anak-anaknya menunggu. Mereka sudah memaklumi kebiasaan Saidi itu.

“Ibu tinggal sama kakak sih di sini, tapi saya ke sini terus. Lagian saya masih ada kamar sendiri di rumah, di bagian paling depan. Kalau saya pergi, kamar digembok,” jelasnya sambil terkekeh.

“Anak saya tiga. Yang paling gede udah kerja. Yang kedua, kontraknya baru habis. Yang bungsu baru kelas 2 SMA. Istri saya ngajar PAUD. Sejak dulu dia memang kepingin jadi guru. Dulu mau masuk SPG (sekolah guru–nin) ngga dibolehin orangtuanya. Setelah orangtuanya ngga ada semua, istri saya kuliah lagi. Ya lulus S1 dia,” kata Pakdhe Saidi.

Wow.

“Trus Pakdhe kerja apa kalau di Cikarang?” tanya saya.

“Ya macem-macem, Bu. Ngerjain rumah rusak, genteng bocor. Semua saya kerjakan. Saya mah semuanya udah saya coba. Saya uU
dah pernah jadi sopir angkot D02 Ciputat-Pondok Labu, pernah beli mobil colt sendiri dan jadi sopir jemputan anak sekolah, pernah ngewarung, semuanya deh. Buat pengalaman hidup,” katanya. Saya terpana. Dengan kerja serabutan begitu, Pak Saidi bisa menyekolahkan istri sampai lulus S1 (dalam usia cukup banyak) dan ketiga anaknya.

Pakdhe Saidi, anak bungsu dari empat bersaudara ini bercerita lagi. Ayahnya sudah tiada, tinggal ibunya tercinta.
“Kakak saya perempuan semua. Yang satu sudah meninggal. Itu, dia sakit perut, kena angin duduk gitu. Ngga keburu ke rumah sakit. Padahal waktu saya angkat ke mobil, badannya masih hangat, eh di lampu merah sini (seraya menunjuk arah perempatan Carefour/Poin Square Lebak Bulus), nafasnya sudah ngga ada. Ya balik lagi ke rumah,” jelasnya.

“Masih muda ya kakak. Malah mendahului ibu ya,” celetuk saya, sambil mengingat Om Edi (adik mama, wafat 1974) dan mama saya yang juga duluan menghadap Allah dibandingkan Opa-Oma, yang masih sehat sampai sekarang alhamdulillah.

“Ya namanya umur mah ngga urut, Bu. Daun yang masih hijau aja bisa jatuh duluan dan daun tua masih bergelantungan,” katanya seraya menunjuk reranting pohon di atas kepala saya. “Namanya kalau sudah waktunya, ajal ya datang,” tambahnya, membuat saya termenung mencerna filosofinya. Bener juga, ya..

“Lha buktinya saya, pernah tabrakan berapa kali, masih hidup aja, Bu. Saya pernah ngancurin angkot. Saya kan biasa ngalong tuh kalau jalan. Ini saya udah ngantuk, udah pake autan segala, masih harus nganter penumpang, tukang ayam. Kejadiannya jam 2-an, ngehajar tiang listrik di UIN itu lho. Hancur depannya mobil, kacanya juga hancur semua. Saya kejepit setir dan kaki saya kejepit kopling. Dua jam saya kejepit. Akhirnya untuk ngeluarin saya, bagian mobil yang masih bagus dihancurin juga,” ceritanya sambil terkekeh, “Sebulan saya dirawat. Dada saya di-gips karena ada retak, kan kena setir.”

Ya ampun. Saya sampe geleng-geleng kepala mendengarnya, “Trus penumpangnya gimana?”

“Dia ada dua bolong di bagian dadanya. Ngga tau kena apaan. Abis kejadian, keluarga tukang ayam itu bolak-balik minta ganti rugi perawatan. Akhirnya kata babe saya, angkot yang sudah masuk bengkel itu dijual aja buat gantiin. Ya udah. Dulu pernah juga saya kebeli colt. Mobil sendiri itu, Bu. Saya pakai untuk usaha antar-jemput anak sekolah. Lumayan tu. Tapi saya jual untuk biaya anak sekolah. Pokoknya saya udah ngerasain semua hidup susah dan seneng deh,” ujarnya lagi sambil tertawa. Heran, Pak Saidi benar-benar santai bercerita. Tak tampak sedikitpun kekhawatiran atau kesedihan di raut wajahnya. Dalam hati saya terkagum-kagum. Mungkin inilah ciri nyata orang yang selalu bersyukur.

“Sekarang malahan saya banyak mobil. Jenis apapun saya punya. Keluar-masuk sesukanya tinggal saya parkirin,” celoteh dia seraya menunjuk pelataran parkir yang terisi mobil Toyota Fortuner hitam. Dia tertawa geli, saya ikut cekikikan. Sungguh pagi dan cerita hidup yang ceria.

“Tapi semangat terus ya, Pak?”

“Alhamdulillah. Semangat terus. Harus semangat, kalau nggak nanti repot sendiri,” tegasnya. “Nah, itu bus Rawamangun, Bu,” katanya lagi, mengakhiri perbincangan.

“Yayy! Ayo kita berangkat, Pakdhe. Terima kasih banyak ya,” saya beranjak berdiri, menyelipkan selembar uang, yang diterima dengan sungkan oleh Pak Saidi.

Beliau ngga sadar, cerita pengalaman hidup yang dijalaninya dengan semangat itu nilainya jutaan kali lipat daripada lembaran uang yang saya selipkan di tangannya tadi. Terima kasih teladan ceritanya, Pakdhe, membuat saya lebih bersemangat menaklukkan tantangan hidup di hadapan ini, sampai nafas habis. In syaa Allah.

What an amazing morning. ^_^

View on Path

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.