Sekadar sharing pengetahun niii.. 😉
Diambil dari: http://abinustra.blogspot.com/2008/08/editor-buku-bukan-kutu-dalam-buku.html
Selamat membaca..
EDITOR BUKU, BUKAN “KUTU” DALAM BUKU
sepercik tukar pengalaman
Siapa mau jadi editor?
Editor atau penyunting (buku) barangkali merupakan salah satu profesi yang tergolong langka peminat. Hampir sebagian besar editor yang ada saat ini, tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa pada akhirnya ia harus menggantungkan hidupnya dari profesi ini.
Fakta berbicara.
(1) anak muda lebih tertantang untuk ‘bermimpi’ menjadi dokter, insinyur, ekonom, ahli hukum, polisi, tentara, atau pilot, ketimbang menjadi editor;
(2) mereka juga rela berdesak-desakan sekadar untuk mengikuti audisi untuk menjadi penyanyi, foto model, atau pemain sinetron;
(3) adakah orang tua yang mengharapkan anaknya kelak menjadi seorang editor? –tentunya bukan orang tua yang bekerja di penerbitan;
(4) profesi editor belum bisa dipakai sebagai ‘iming-iming’ untuk melamar seorang gadis.
Jika demikian, mengapa kita harus tetap bertahan menjadi editor?
Jawabnya pun beragam, kalau bukan karena (1) terpaksa/tidak ada pekerjaan lain; (2) ditugaskan sehingga tak bisa menolak; (3) terlanjur sayang dengan pekerjaan itu; (4) memang ingin menjadi editor.
Bagaimana apresiasi terhadap editor?
Ada dua jenis apresiasi: dari lembaga tempat bekerja dan dari masyarakat umum. Apresiasi dari lembaga tentu saja berbeda antara satu lembaga dan lembaga lain, bergantung pada kebijakan tiap lembaga. Hingga saat ini belum ada aturan main yang seragam tentang hak dan kewajiban editornya.
Sementara, apresiasi masyarakat umum yaitu penghargaan yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu karya buku. Apakah yang menjadi perhatian masyarakat (pembaca) terhadap sebuah karya buku? Jawabnya, judul, pengarang, penerbit, dan (sekarang mulai menjadi perhatian) desainer sampul. Adakah yang juga memberi perhatian pada siapa editor buku tersebut?
Memang, kejernihan informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana editor buku baru ditimang oleh kalangan terbatas; lingkup insan perbukuan dan masyarakat yang ‘gila’ buku. Selebihnya, (1) tidak sadar bahwa sebuah buku tidak akan pernah terbit tanpa campur tangan seorang editor; (2) beranggapan bahwa siapa saja bisa menjadi editor.
Pengalaman empiris membuktikan, minornya pemahaman masyarakat atas profesi editor buku menjadi pelatuk utama munculnya anggapan bahwa editor di industri penerbitan buku tidak lebih dari seorang ‘tukang’. Tugasnya sungguh tidak menantang karena sebatas mengutak-atik bahasa, membetulkan letak titik-koma, dan mengetik naskah saja. Celakanya, hal ini mendorong munculnya pengarang-pengarang ‘hebat’—yaitu menafikan fungsi editor dalam menerbitkan karyanya. Lebih celaka lagi, jika pengarang jenis ini bertemu dengan mantan mahasiswanya yang kebetulan bekerja sebagai editor di penerbit tempat sang dosen akan menerbitkan naskahnya.
Apakah ruang lingkup kerja editor?
Tugas seorang editor dalam industri perbukuan bukan semata-mata menyunting kebahasaan suatu naskah. Tugas ini seharusnya sudah diemban oleh editorial assistant atau copyeditor.
Seorang editor seyogianya menguasai tugas-tugas yang termasuk dalam substantive editing dan mechanical editing. Dalam substantive editing, editor harus mampu menilai dan mempertimbangkan kelayakan terbit sebuah naskah. Di sini, tidak tertutup kemungkinan seorang editor mencetuskan ide atau konsep buku yang akan diterbitkan, sekaligus mencari penulisnya.
Termasuk dalam tugas ini, misalnya, seorang editor juga harus dapat berkomunikasi dengan pengarang atau penerbit luar negeri guna menjajaki kemungkinan penerbitan alih bahasa.
Sementara, dalam mechanical editing, seorang editor mulai memasuki proses panjang penerbitan buku. Selain memeriksa kembali hasil penyuntingan kebahasaan yang telah dilakukan oleh asisten editor atau copyeditor, seorang editor harus piawai dalam melakukan sejumlah tugas, misalnya menyusun ide pengarang ke dalam bentuk yang semenarik mungkin (gaya bahasa yang digunakan, mengatur sistematika penulisan), menyusun indeks, meramu sinopsis, dan memberi pertimbangan-pertimbangan kepada bagian visual dan desain buku. Bahkan ada kalanya editor dituntut mengenal seluk-beluk produksi buku, analisis pasar, hingga melakukan pra-kalkulasi.
Pendek kata, seorang editor harus siap menjadi seorang generalis dalam bidang penerbitan buku, di samping tetap sebagai spesialis dalam salah satu ilmu.
Lembaga penerbitan yang profesional, biasanya sudah membedakan secara tajam fungsi-fungsi copyeditor, editor, sampai acquisition editor (posisi yang disebut terakhir masih langka dalam struktur organisasi penerbit di Indonesia). Masing-masing memiliki ruang lingkup kerja sendiri, bahkan ada pula penerbit yang mempertajamnya dengan menyediakan editor-editor khusus—sesuai dengan bidang garapan. Misalnya, editor fiksi, editor sains, editor humaniora, editor kesehatan, dll.
Oleh karena itu, kehadiran editor dari berbagai disiplin ilmu mutlak diperlukan dalam satu usaha penerbitan umum. Tetapi, inilah hambatannya, biasanya penerbit kesulitan menemukan orang yang menguasai suatu ilmu, menyukai dunia perbukuan, sekaligus memahami tatacara penyuntingan. Kendala ini muncul akibat belum banyak mahasiswa yang benar-benar menyiapkan diri untuk bekerja sebagai editor selepas dari perguruan tinggi.
Itu sebabnya, menjadi editor sebenarnya tidak gampang.
Tips Penutup
- Editor adalah pembantu penulis naskah. Oleh karena itu, sebaiknya editor tidak menempatkan diri pada posisi penulis naskah.
- Editor haruslah rendah hati atau tidak angkuh dalam menghadapi penulis naskah, meskipun ada kemungkinan editor lebih pintar dan ‘lebih tinggi’ ilmunya daripada penulis naskah.
- Sebelum mulai mengubah-ubah dan mencoret-coret naskah, sebaiknya editor berkonsultasi terlebih dulu dengan penulis naskah.
- Sebelum mulai mengedit naskah, sebaiknya editor memahami benar cirri khas naskah bersangkutan. Tanpa pemahaman itu, hasil kerja editor akan berantakan.
- Kenali benar watak dan temparemen penulis naskah: termasuk kategori penulis yang gampang, sulit, atau yang sulit-sulit gampang.
- Setelah buku terbit, segeralah baca ulang untuk menemukan sekiranya ada hal-hal yang harus segera diperbaiki.
© ariobimonusantara
mei 2006
*Diolah kembali dari artikel yang pernah dimuat di Berita Buku, Juli 1996 dengan judul yang sama. Disajikan di Pusgrafin Politeknik UI jurusan ilmu penerbitan
Like this:
Like Loading...
Related
Terima kasih atas sharingnya.Salam kenal.Mampir bro di http://lukmanjack.wordpress.com/
Terima kasih juga sudah mampir, Mas Lukmanjack.. 🙂
Oke, kita mau tengokin blog Anda niiih..
Hmm,,, lama-kelamaan tertarik jadi editor. Oh ya, mau tanya. Kira-kira, apakah seorang editor harus dari jurusan tertentu?
Reblogged this on hidekoichihara and commented:
About Editor
Saya tertarik untuk menjadi editor buku, 🙂
terimakasih atas infonya.
Tapi kalau mau jadi editor, harus kuliah jurusan apa yah?
*sekarang saya kelas 3 SMA jurusan IPA#
🙂 mohon infonya.
Terima kasih sudah mampir ya, Dik. Rangkaian bahasa Adik sudah bagus sekali. Saya (personally) yakin, Adik akan menjadi editor yang hebat! 😉
Menurut saya, pendidikan formal yg tepat utk menjadi editor itu mungkin Sastera ya. Boleh Sastera Indonesia atau asing (Inggris, Jepang, Jerman, Prancis, Arab, dsb). Bisa juga kuliah Ilmu Komunikasi (Jurnalistik). Tapi sebetulnya kuliah jurusan apapun tidak masalah sih. Yang penting cinta bahasa Indonesia, didukung dengan minat menulis dan membaca dilakukan intens dan terus (menerus) diasah/dilatih.
Saya sendiri, waktu SMA juga masuk ke jurusan IPA (Fisika, tepatnya), lalu kuliah jurusan Ekonomi Pembangunan, setelah lulus jadi pegawai kantoran, sebentar, kemudian saya jadi wartawan. Dari wartawan inilah bermula karier saya sebagai editor, hingga sekarang.
Jadi sebetulnya kunci utama menjadi editor adalah membaca sebanyak-banyaknya buku-buku bagus (sebagai referensi pribadi) lalu dipertajam dengan terus menulis–blogging, bikin artikel/cerpen/cerbung, atau menulis diary juga boleh. Nah, kalau Adik sekarang ini biasanya hanya sekadar membaca, mulailah membaca sambil mengedit dalam pikiran. Capek di otak memang, tapi itu melatih kecermatan dan kecepatan mata + otak kita lho.
Ngga akan mudah, pastinya. Namun, seperti yang saya katakan tadi, saya yakin Adik kelak menjadi editor yang hebat! Kalau sudah sukses, jangan lupa saya yaa.. Best of luck and never give up trying! 😉
Terima kasih…
Tapi kak, kalau dalam menulis saya sulit merangkai kata-kata yang tepat, sehingga saya lebih sering membaca.
Amin, semoga saya bisa menjadi editor yang hebat. 🙂
Tapi waktu mencari pekerjaannya bagaimana kak, apakah sulit ?
🙂 mohon bantuannya, maaf kalau banyak tanya.. hehe 🙂
Aiko itu Chenoa kak… 🙂
maaf kalau jadi bingung.. 🙂
Waduh.. Mohon maaf baru membalas lagi, Dik Aiko Chenoa.. 🙂 Padat banget kegiatan kami di kantor akhir-akhir ini. Mohon dimaklumi yaa..
Oh ya, membaca itu “pintu”, menulis adalah ruangannya. Jadi, walaupun baru pada tahap lebih sering membaca (dan menulisnya belum rajin), ngga masalah kok. Yang penting Aiko tetap tekun dan cermat. Biasanya, kalau sudah terbiasa mengedit, membaca tulisan apapun, otak kita jadi otomatis mengedit bacaan tersebut. hehehe.. Kalau itu terjadi, selamat, artinya Aiko sudah “terprogram” menjadi editor. 😉
Mencari pekerjaannya? Dibilang sulit, ya mudah. Dibilang mudah, ya sulit. hehehe.. Kalau sudah waktunya rezeki, ya pastinya dimudahkan sama Allah. 😀 Mengawalinya, biasanya calon editor itu “digodok” dulu di perusahaan penerbitan. Atau kalau Aiko suka media massa, bisa mengawalinya sebagai reporter (wartawan) terlebih dulu. Saya dulu mengawali karier sebagai reporter hukum- kriminal (kota dan nasional), juga politik nasional. Kalau Aiko sendiri sekarang sedang sibuk apa nih? 🙂