Ketika saya menjadi wartawan di Jakarta pada 2004-2005, ide tentang citizen journalism, atau jurnalisme warga, sudah mulai santer terdengar di kalangan kami, para pelaku media massa. Awalnya saya pribadi berpikir, mana boleh citizen journalism ini berkembang? Khawatir terlalu bias, terlalu one-sided, dan akurasinya dipertanyakan, karena pelakunya tidak terlatih secara profesional.
Tapi kemudian harus diakui sejumlah fakta-fakta (yang saya rasa sih berkorelasi ya): mayoritas jurnalis tidak berlatarbelakang pendidikan fakultas komunikasi dan jurnalistik. Ya, malahan mayoritas wartawan itu bukan lulusan jurusan jurnalistik. Faktanya, dengan pelatihan dan disiplin dari tim redaksi, liputan bisa dilakukan dengan baik. Seiring waktu, makin mahir pula kita dalam meliput. Selain pelatihan dasar, learning by doing jadi faktor utama dalam menjalankan tugas kami di lapangan.
Fakta kedua, dunia internet semakin berkembang dan informasi mengalir tanpa bisa terbendung. Saya ingat, dulu platform miniblogging seperti twitter (sekarang X), plurk, foursquare, bahkan friendster, dijadikan media untuk sharing informasi lalu lintas dan/atau kejadian penting terkini di sekitar, misalnya. Bahkan ketika terjadi ledakan di Kedubes Australia di Rasuna Said (Kuningan), saya ingat, terjadi banjir informasi via twitter dari warga on the spot atau yang dekat dengan lokasi kejadian. Dan, jujur, meski dengan bahasa sederhana khas warga—with all due respect, secara kualitas bahasa, jurnalis harus tetap profesional dan sangat terikat EYD—informasi yang dibagi warga nyatanya berguna juga untuk kami, diakui maupun tidak.
Kalau saya pribadi, mengakui, informasi warga yang dibagi lewat twitter (waktu itu belum ada istilah medsos) sangat berguna. Sekian puluh menit setelah ledakan, polisi langsung sterilisasi TKP, dan lokasi yang diamankan semakin luas seiring menit dan jam berlalu. Saya kesulitan mencapai lokasi untuk liputan, karena blokiran jalan tersebut. Berkat twitter, saya bisa mencari jalan alternatif, dan mencapai RS MMC dekat Pasar Festival. Itu adalah lokasi terdekat yang bisa kami jangkau saat itu.
Ingat, pada 2004 belum ada google map. Belum ada alat GPS yang memadai pula! Hape kami rata-rata masih jenis monochrome dan monophonic, jarang ada yang punya koneksi internet. Waktu itu saya sudah lumayan, pakai hape Sony Ericsson K750i, sudah berwarna, kamera 2 MP (udah canggih ituuu!), dan bisa koneksi internet dengan koneksi WAP (Wireless Application Protocol). Sungguh jarang saya bisa dapat koneksi GPRS (General Packet Radio Service) alias 2.5G, apalagi EDGE (Enhanced Data rates for GSM Evolution) alias 2.75G, wah keajaiban dunia kalau itu terjadi.
Anyways, seiring kami melihat perkembangan zaman dan kecanggihan infrastruktur yang mendukung konektivitas internet, gawai yang makin canggih pula, lalu lahirlah berbagai platform media sosial, tentu saja perkembangan citizen journalism semakin melimpah. Diawali dari facebook, yang pada perjalanannya melibas friendfinder, friendster, dan myspace. Instagram yang lantas berkembang melampaui path, vine, dan sejenisnya. YouTube yang jadi pionir dan groundbreaking video, bahkan TV online. Lalu, perkembangan Search Engine Google yang mengalahkan senior-seniornya Yahoo, Live (msn), Altavista, dkk, apalagi trus Google merambah dan menguasai berbagai platform medsos, sampai ke map.
And here comes the era of content creators. Di era media sosial dan kemudahan akses teknologi saat ini, siapa pun punya potensi menjadi content creator, atau pencipta konten — mulai dari vlogger, penulis blog, pembuat video singkat, hingga pembicara daring. Itulah yang kita kenal sebagai content creator. Tapi lebih dari sekadar menghibur atau berbagi pengalaman, mereka juga—secara implisit atau eksplisit—melakukan fungsi yang sangat mirip dengan jurnalis warga (citizen journalism).
Apa itu Citizen Journalism?
Citizen journalism atau jurnalisme warga adalah kegiatan masyarakat biasa (non-profesional) dalam mengumpulkan, melaporkan, dan menyebarkan informasi atau berita melalui media digital. Dalam bentuk ini, masyarakat yang biasanya berperan sebagai konsumen berita, kini menjadi produsen berita itu sendiri. Yang membedakan citizen journalism dengan media profesional “hanyalah” aspek institusi, status formal, dan kapasitas verifikasi.
Namun dalam praktiknya, banyak content creator sekarang ini melakukan hal-hal yang sangat berdekatan dengan jurnalisme warga: merekam peristiwa secara langsung, mengabadikan data di lapangan, dan menyebarkannya ke publik.
Jadi, ketika seorang content creator membuat liputan kecelakaan lalu lintas, mendokumentasikan perizinan pembangunan lingkungan, atau menyuarakan keluhan warga melalui video maka mereka sesungguhnya sedang melakukan bentuk citizen journalism tersebut. Tapi masalahnya, apakah mereka seharusnya terikat prinsip jurnalisme? Sewajarnya sih, iya ya. Mereka yang mempublikasikan sesuatu berita/informasi, artinya mereka juga sewajarnya bertanggung jawab atas apapun konten mereka bagikan. Begitu logikanya. Jika tidak, siap-siap saja mendapat sanksi sosial.
Jadi untuk amannya: Content Creator Hendaknya Terikat Prinsip Jurnalisme
Kalau content creator dianggap bagian dari citizen journalism maka mereka juga (atau seharusnya) terikat pada nilai-nilai dan etika jurnalisme, seperti berikut ini:
1. Kebenaran & Verifikasi Fakta
Salah satu pilar utama jurnalisme adalah seek the truth and report it — mencari fakta, memeriksa sumber, dan menyajikan informasi sejujur mungkin. Seorang content creator yang mengunggah informasi tanpa verifikasi bisa menyebarkan misinformasi atau hoaks. Dan ini akan buruk sekali dampak dan pertanggungjawabannya. 😵💫
2. Menghindari Plagiarisme & Mampu Menghargai Hak Intelektual
Konten apa pun yang dibuat, sebaiknya TIDAK mengambil karya orang lain (gambar, kutipan, video). Jika tidak terhindarkan, harus ada izin narasumber, atau menyebut sumbernya secara tegas. Melakukan plagiarisme atau pengambilan konten ilegal bertentangan dengan etika publikasi. Sayangnya, beberapa penelitian mengenai citizen journalism menunjukkan bahwa pelanggaran yang sering terjadi adalah tidak mencantumkan sumber atau identitas dan mengabaikan privasi individu. Not good. 👎
3. Independensi & Bebas dari Konflik Kepentingan
Seorang pembuat konten harus bisa menjaga jarak dari pengaruh eksternal—iklan, tekanan sponsor, kepentingan politik—agar kontennya tidak bias hanya demi keuntungan tertentu. Prinsip independensi ini juga diatur dalam kode etik jurnalistik.
4. Meminimalkan Dampak Negatif & Menghormati Privasi
Ketika memberitakan hal yang sensitif—kejahatan, tragedi, kehidupan pribadi—content creator hendaknya memerhatikan dampak pada individu yang terlibat. Menjaga privasi dan tidak mengeksploitasi orang yang rentan adalah bagian dari etika jurnalisme.
5. Akuntabilitas & Koreksi Kesalahan
Jika konten terbukti keliru, pembuatnya harus bersedia mengoreksi dan meminta maaf. Transparansi dan keterbukaan dalam proses pemberitaan bisa menambah kredibilitas. It’s good.👍
6. Tujuan Edukatif & Kepentingan Publik
Salah satu karakteristik citizen journalism adalah orientasi pada kepentingan publik—memberi pengetahuan baru, mengangkat isu yang luput dari perhatian media besar, atau membuka ruang dialog.
Bagaimana dengan content creator yang murni berorientasi pada “fun” (dan/atau infotainment) semata? Yah, kalau mereka ini, mungkin belum bisa dibilang memenuhi elemen citizen journalism ya. Tapi ketika mereka menyelami topik publik, seperti kesehatan, lingkungan, pemerintahan, artinya mereka melangkah ke wilayah citizen journalism ini.
Tantangan & Kesenjangan dalam Praktik
Meskipun idealnya content creator bisa saja mempraktikkan nilai-nilai jurnalistik, dalam kenyataannya tetap ada banyak hambatan:
Pertama, tidak ada regulasi formal: Citizen journalist belum memiliki payung hukum yang seketat media pers profesional. Beberapa penelitian menyebut bahwa citizen journalism perlu perlindungan hukum yang setara agar mereka bisa merasa aman dan bertanggung jawab.
Kedua, rendahnya kesadaran etik: Karena masyarakat melihat media sosial sebagai ruang bebas, banyak pembuat konten mengabaikan etika dasar seperti verifikasi atau izin pengambilan gambar.
Ketiga, sensasi & clickbait: Untuk menarik perhatian, beberapa konten dibuat dramatis atau provokatif tanpa cukup dasar fakta—ini bertentangan dengan prinsip akurasi dan keseimbangan. IMO, this is the worst kind of content creation. 🥲
Keempat, kurangnya kontrol mutu: Karena praktiknya terbuka dan tak terpusat, sulit ada mekanisme editorial yang memastikan standar mutu. Penelitian menyebut banyak media online mengutip media sosial langsung tanpa verifikasi.
Contoh Nyata
Salah satu contoh content creator Indonesia yang bergerak di garis semacam citizen journalism adalah Dian Rana, yang telah mendokumentasikan proses pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan melakukan liputan langsung, dan kadang mewawancarai pihak terkait. Karena posisi dirinya sebagai “warga dokumenter”, ia berpotensi dianggap sebagai content creator + citizen journalist.
Contoh ini menunjukkan bahwa content creator bisa berperan sebagai “jembatan” antara publik dan peristiwa yang tak tersorot oleh media besar. Apalagi jika pelakunya punya akses dan keahlian spesifik (kapasitas diri) sesuai dengan konten yang dibuatnya, niscaya isi kontennya pun berkualitas dan bisa dinilai valid. Jadi tidak asal menyampaikan info/pengetahuan tanpa keahlian.
Menempatkan content creator dalam kerangka citizen journalism adalah cara kita memahami bahwa membagikan konten bukan sekadar hiburan, tetapi juga tanggung jawab sosial. Bila mereka ingin menjadi “penyambung suara publik” maka prinsip-prinsip jurnalisme—kebenaran, etika, akuntabilitas, kapasitas, integritas—bukanlah beban tambahan, melainkan bagian tak terpisahkan dari identitas konten yang bermutu.
Jadi, jika kamu seorang content creator atau sedang berinteraksi dengan mereka, mari kita dorong kesadaran bahwa berbagi informasi itu bukan soal banyaknya view atau like, melainkan soal memberi kejelasan dan nilai-nilai terbaik kehidupan bagi masyarakat.
Yuk, buat konten yang informatif, memberi inspirasi, sekaligus sarat edukasi kepada masyarakat, dengan tekad mencerdaskan dan memajukan bangsa Indonesia tercinta ini.
Semangat, ya!

Referensi dan bahan bacaan terkait topik ini:
- https://en.wikipedia.org/wiki/Citizen_journalism
- https://repository.iainponorogo.ac.id/1696/1/Citizen%20Journalism.pdf
- https://stories.briefer.id/2023/11/30/citizen-journalism-adalah/
- https://www.mdpi.com/2076-0760/13/5/266
- https://cs.stanford.edu/people/eroberts/cs181/projects/2010-11/Journalism/index16e4.html?page_id=24
- https://en.wikipedia.org/wiki/Journalism_ethics_and_standards
- https://scholar.ui.ac.id/en/publications/analisis-isi-pelanggaran-kode-etik-citizen-journalism-pada-berita
- https://jurnal.mediaakademik.com/index.php/jma/article/view/42
- https://kumparan.com/dinda-wahyuni-putri/hak-privasi-dalam-jurnalistik-menyeimbangkan-kewajiban-dan-etika-23ZxK57IVJO
- https://www.independentmedia.us/education/ethics-for-citizen-journalists
- https://binus.ac.id/malang/2017/09/etika-dalam-citizen-journalism/
- https://www.kompasiana.com/singgihardi7/5fda38168ede4857c8369d52/kode-etik-citizen-journalism
- https://lpmarena.com/2024/03/14/citizen-journalism-rawan-bias-minim-etika/
- https://glints.com/id/lowongan/citizen-journalism-adalah/
- https://www.enmuhoundbytes.com/2025/02/19/citizen-journalism-and-content-creation-blurring-the-lines-between-integrated-marketing-and-multimedia-journalism/
- https://www.scimagoepi.com/contenidos/2021/ene/goyanes-gil.pdf
- https://www.niemanlab.org/2022/12/citizen-journalism-but-make-it-equitable/
- https://fiveable.me/history-and-principles-of-journalism/unit-12/rise-citizen-journalism-user-generated-content/study-guide/5teWw9Jemc0KzfxZ
- https://english.umd.edu/research-innovation/journals/interpolations/interpolations-fall-2013spring-2014/citizen-journalism
- https://www.tate.org.uk/art/art-terms/p/photojournalism/power-people
- https://paradigmhq.org/citizen-journalism-how-the-internet-is-decentralising-information-control/


Leave a comment