Hujan baru saja reda, menyisakan petrichor—aroma tanah basah, bercampur dengan wangi kopi dari kedai kecil di sudut jalan. Lampu kuning di atas meja kita memantulkan cahaya lembut, cukup hangat untuk membuat dunia di luar jendela terasa jauh.

Kau duduk di hadapanku, kedua tanganmu menggenggam cangkir yang uapnya masih tipis menari. Aku memperhatikan jari-jarimu—jemari yang dulu pernah menggenggam tanganku, tapi kini seolah takut menyentuhku.

“Bagaimana kabarmu?” tanyamu. Aku ingin menjawab baik-baik saja, tapi kita berdua tahu itu bohong.

“Aku… masih di sini,” jawabku akhirnya, lirih.

Kita bicara tentang hal-hal kecil: pekerjaan, hujan, buku yang belum sempat kau baca. Tapi setiap kata terasa seperti jembatan rapuh menuju satu percakapan yang kita hindari.

Lalu, tanpa kau angkat pandangan dari cangkirmu, kau berkata, “Aku tidak pernah berhenti mencintaimu.”

Suaramu nyaris tenggelam oleh suara hujan yang kembali rintik di luar.

“Aku tahu,” jawabku pelan. “Aku juga tidak pernah berhenti.”

Ada jeda panjang, seperti sang kala menahan napasnya. “Aku menikahinya…” Kau berhenti, lalu menghela napas. “Karena ada keadaan yang tak bisa aku abaikan. Aku tak bisa berpaling dari itu.”

Aku tidak bertanya apa. Aku tahu. Sejak awal, aku tahu.

“Kalau semua berbeda…” kau melanjutkan, suaramu pecah, “Aku akan menikahimu. Aku akan pulang padamu setiap hari. Aku akan—”

Aku menggeleng cepat, menghentikan kata-kata yang terlalu berat untuk kita pikul malam ini.

“Kita tidak perlu membayangkan itu,” kataku. Tapi suaraku sendiri bergetar.

Kita terdiam. Lama. Matamu mencari mataku, dan aku menatap balik—dan di sanalah semua kenangan itu tinggal: tawa, langkah bersama, doa yang pernah kita panjatkan untuk masa depan, yang kini tiada.

Aku ingin memelukmu, membiarkan waktu berhenti di detik ini saja. Tapi aku tahu, kalau aku melakukannya, aku tidak akan sanggup melepasmu lagi.

Kau membayar kopi kita, lalu kita berjalan keluar ke udara malam. Hujan sudah berhenti, tapi jalanan masih berkilau, memantulkan lampu kota seperti genangan bintang.

Sebelum kita berpisah di ujung jalan, kau menatapku sekali lagi. Senyummu lembut, tapi matamu menyimpan luka yang sama dengan mataku.

“Tidak ada selamat tinggal di antara kita,” bisikmu.

Aku hanya mengangguk. Lalu kita berjalan ke arah yang berlawanan.

Tapi malam itu—dan semua rasa yang kita tinggalkan di dalamnya—tetap tinggal di sini.
Tidak pernah benar-benar berakhir.

(Prompted image by freepik.com + animated by seaart.ai)

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

August 2025
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031


Recent posts

Quote of the week

Abu Hurairah narrated that the Messenger of Allah (saw) said:

“Lo! Indeed the world is cursed. What is in it is cursed, except for remembrance of Allah, what is conducive to that, the knowledgeable person and the learning person.”

— Jami` at-Tirmidhi 2322